Connect with us

Kolom

Bagaimana pendidikan kita menciptakan orang terpelajar

Published

on

Bagaimana pendidikan kita menciptakan orang terpelajar
Spread the love

Bagaimana Pendidikan Kita Menciptakan Orang Terpelajar

WAKTU kecil dulu, ketika hendak menuliskan nama, misalnya di buku tulis, saya terkadang membubuhkan SE setelah nama saya. Tentu ketika itu saya belum mengerti apa arti sesungguhnya dari dua huruf itu. Begitupun saya cukup tahu bahwa itu adalah gelar bagi “orang terpelajar”.

Bertahun-tahun kemudian, itulah hari ini, jarak waktu saya sudah sangat dekat dengan menyandang gelar itu.

Setelah bertahun-tahun itu, saya mencoba menekuri apakah benar makna dari gelar sarjana itu benar-benar untuk “kaum terpelajar”? Mengapa saya mengajukan pertanyaan demikian, ada sebabnya.

Selama empat tahun belakangan, mulai Senin hingga Jumat, saya mengikuti kelas-kelas di kampus, dan menemukan ada cukup banyak orang yang bodoh. Sementara ada beberapa orang pintar. Lainnya biasa-biasa saja, tidak bodoh tidak pintar.

Akan tetapi dari tiga golongan ini, apakah seusai melaksanakan sidang sarjana, lantas gelarnya berbeda-beda? Tidak, bukan? Semuanya tetap memakai gelar Sarjana Ekonomi (jika di fakultas ekonomi), misalnya.

Baca juga : Kanreapia, rumah koran dan kampung literasi

Namun apakah dengan semua yang memakai gelar SE itu termasuk dalam kategori “kaum terpelajar”? Otomatis seharusnya ya. Tapi menurut saya sebenarnya tidak. Sebab menurut saya, frasa “kaum pelajar” punya tingkatan yang tinggi bila dibandingkan kaum-kaum lainnya.

“Kaum pelajar” bagi saya adalah gelar penghormatan atas kadar keilmuan yang dipelajarinya selama bertahun-tahun. Sayangnya, sekarang ini, derajat penghormatan bagi “kaum terpelajar” itu melandai. Apa penyebabnya? Tak lain, karena masuknya dua golongan yang saya sebut tidak termasuk pintar di atas.

Tujuan pendidikan jelas, sejalan dengan cita-cita bangsa kita: mencerdaskan. Lalu apakah tujuan guru-guru di sekolah? Secara hakikat tujuan guru atau dosen ialah mencerdaskan murid-muridnya, membimbing mereka menjadi berilmu dan berpengetahuan.

Tapi, pada faktanya benarkah guru di sekolah dan dosen di kampus kita demikian? Saya kira kini sulit menemukan yang seperti itu. Justru yang sering saya lihat ialah, guru-guru di sekolah hanya sibuk membicarakan perkara gaji, kredit dan utang. Intinya, uang.

Mengapa guru-guru kita selalu membicarakan uang, bukannya ilmu? Sebab, beban pengeluaran yang sedemikian besar tak lagi sebanding dengan pendapatan. Berbagai penawaran dengan harga yang menggiurkan berhasil membuat para guru kita masuk dalam jeratan kredit. Atas hal seperti ini, dampaknya pada siswa sangat buruk.

Siswa tidak dibentuk untuk menjadi berilmu, melainkan dibentuk untuk berpatok pada hal materil.

Bertahun-tahun setelah tamat dari bangku sekolah, apakah saya merindukan kembali ke masa-masa itu? Tidak, sama-sekali. Sebab menurut saya tidak ada hal yang pantas rindukan dari bangku sekolah. Setiap pagi saya berangkat sekolah dengan pakaian rapi dan rambut terpangkas, bertengger di sana sampai siang menjelang, dan pulang dengan keletihan, tanpa diberi curahan ilmu oleh para guru. Betapa mengecewakan.

Apa mungkin itu terjadi karena sekolah saya sekolah negeri? Bukan sekolah swasta yang uang sekolahnya berjuta-juta dan gedungnya bertingkat-tingkat?

Ah, tapi tak juga. Justru sekarang saya perhatikan, para siswa dari sekolah swasta itu tak kalah bobrok dengan lulusan negeri. Sikap dan perilakunya sama saja, menjengkelkan dan mulutnya hanya memproduksi kata-kata makian.

Itukah yang diajarkan di sekolah saat ini? Entahlah.

Baca juga :
Budaya kita cuma paham menutupi tubuh, tetapi hobi menelanjangi privasi orang lain

Sekarang, setelah empat tahun menempuh masa-masa kuliah, apa yang saya rasakan? Harus saya akui, ilmu dan pengetahuan saya saat ini tidak di dominasi oleh kelas-kelas yang saya ikuti di kampus itu.

Empat tahun kuliah itu kira-kira hanya berkontribusi 25 persen dari seluruh ilmu saya saat ini. Selebihnya dari mana saya dapatkan? Tak lain dengan membaca. Segalanya berusaha untuk saya baca, sebab saya tahu apa yang saya baca sekarang akan bermanfaat pada suatu saat. Mungkin terdengar kuno. Tapi begitulah saya.

Menjelang sarjana ini, apakah nanti saya pantas disebut sebagai “orang terpelajar”? Saya meragukannya. Sebab saya tak bisa disebut pintar, namun saya juga tak mau disebut bodoh. Pendidikan yang saya tempuh tahun demi tahun telah membentuk saya menjadi seperti saat ini.

Apakah saya menyesal? Tidak.

Tetapi saya kecewa, benar-benar kecewa kepada seluruh guru dan dosen saya yang selama ini tidak men-transfer ilmu dan pengetahuan kepada saya dengan sungguh-sungguh. Maka beginilah saya sekarang, hadir dan meng-ada sebagai seorang calon sarjana. Apakah saya bahagia? Mudah-mudahan iya.

Sudah menjadi nasib, memang begitulah saudara-saudara, pendidikan kita memperlakukan kita sebagai anak bangsa.

Bagaimana Pendidikan Kita Menciptakan Orang Terpelajar