Sastra
[Puisi] Di Hari Permainan Dadu dan Puisi puisi Agus Sanjaya Lainnya
Oleh Agus Sanjaya
Kesalahan Seorang Ibu
Tali itu sebuah mantra dari Druwasa, bersimpuhlah ia sebagai siswa. Di ujung malam, kesepian melahirkan penasaran. Lidahnya mengucap kata-kata, membuahkan bahasa yang tak diketahui maknanya. Di hadapan bulan yang sedikit remang, memunculkan sosok bercahaya terang. Oh Bathara. hatinya disengat ribuan kumbang cinta. Ia terpesona, sampai menyerahkan mahkota. Di istana itu, di kamarnya. Hanya ada desah menggema, bertabrakan dengan sunyi. Keringat pun banjir bandang.
Kenikmatan surga katanya. Air suci telah tertanam dalam-dalam. Melupakan segala yang ia ucap sebagai janji. Ayam berkotek, burung bersautan mengusik tidur. Jabang bayi membesar bagai kelapa. Ia kelimpungan. Perempuan itu meminta berkat. agar bayi tak membunuh identitasnya. sosok putra tampan keluar dari telinga.
“Oh Karna, semoga Gangga menimangmu seperti anak sendiri. Lalu mengantarmu ke daratan seberang.”
Setelah dihanyutkan ke kali. Bayi itu membawa takdir dari kalung masa lalu, dari kesalahan seorang ibu.
12 September 2022
Kedalaman Batin Sangkuni
Dretarastra, cinta dan buta. Gandari, ibu para Kurawa. Di punggung memikul sengsara, di mata menggenapi kemuraman. Takkan kubiarkan lagi segala derita, akan kumusnahkan penghalang jalan.
Duryodana, kesayanganku. Akan kau tatap sendiri. Kunti dan kelima putranya–terjebak labirin buatan Purwocana. Puri Laksagreha, dilahap bulat-bulat kebencian. Terbakar tumpas jadi lelatu, terbang menjadi renik debu.
12 September 2022
Di Hari Permainan Dadu
Kata menang disulap kalah. Dadu itu memutar salah. Direnggutnya takhta tinggi, diambilnya sang istri, direndahkannya harga diri.
Di hari permainan itu, semua tetua bungkam seperti batu. Pandawa pasrah sebagai budak baru.
Dilucutinya pakaian Pancali, tapi tak ada seorang pun yang berdiri–membela bendera keadilan.
Mungkin semua telah buta
seperti Raja Detrarastra
12 September 2022
Kematian Pitaloka
Surya baru bangun tidur, tapi Pitaloka dan ayahnya sudah menyibak hutan. Menuju ke timur–sebuah negeri yang makmur.
Sebuah harapan menyala di kepala, ia ingin menjadi ratu di sana. Tapi harapan ternyata kandas, mereka dipermainkan siasat culas.
Musuh mengepung dan siap mengurung. Prajurit tewas, raja tumpas. Sungguh akhir yang naas.
“Aku akan ikut mati secara harum di tanahmu ini,” kata Pitaloka menggenggam pedang, menghunus pada jantungnya sendiri.
Sesosok lelaki menatap, hatinya hancur berhamburan. Perempuan yang dinanti, telah jadi mayat sejati.
12 September 2022
Cinta Savitri Menantang Kematian
Ia telah buta, mencintai lelaki yang dekat kematian. Hanya punya setahun kehidupan.
Ia hitung setiap detik, menit, hari, dan bulan. Berharap waktu memutar lebih lama, agar bisa menikmati waktu dengan suaminya.
Tapi Satyawan telah dipanggil ajal–lelap dalam pangkuan. Mata Savitri nanar. Ia coba mengejar dan menantang kematian.
Ia menang dalam perjuangan, suami bisa kembali ke pelukan. Cinta sungguh mujarab untuk menghidupkan.
12 September 2022
Kelahiran Durga
Namaku Durga, ratu hutan kematian. Lahir untuk menumpas penindasan–pada kaum perempuan. Akan kuhancurkan segala bentuk durjana yang merajai dunia. Namaku Durga, seribu ekor gajah telah kutumbangkan.
12 September 2022
*Agus Sanjaya lahir di Jombang, 27 Agustus 2000. Juara 2 Lomba Menulis Cerpen Nasional (Komunitas Sekolah Seru, 2019), Juara 3 Event Menulis Puisi Nasional (Arras Media, 2021), Juara Favorit dalam Lomba Menulis Puisi Catatan Pringadi Tahun 2022, serta Juara 2 Lomba Menulis Puisi Ramadan COMPETER Indonesia 2022. Buku pertamanya berjudul Akar Kuning Nenek, keduanya berjudul Lima Sekawan terbit di Guepedia tahun 2020. Untuk buku ketiga adalah antologi puisi Sebelum Air Itu Berubah Wangi (Kertasentuh, 2022). Saat ini ia tengah menimba ilmu di COMPETER Indonesia dan Kelas Puisi Bekasi (KPB).