Connect with us

Kolom

Masa depan yang nyatanya tak sebahagia dengan yang kita idam-idamkan

Published

on

Masa Depan - Muhammad Husein Heikal
Spread the love

 

Masa Depan - Muhammad Husein Heikal

 

KITA selalu mengidam-idamkan masa depan: membayangkan ada kebahagiaan yang melampaui kebahagiaan masa sekarang.

 

Masa depan adalah tujuan, begitu kan? Tapi sayang, hidup sesuai jalur nyatanya tak mudah. Banyak tantangan, hadangan sampai tendangan, yang sakitnya berbeda-beda menerpa kita. Itu, satu demi satu berusaha kita kikis pelan-pelan. Akankah sakit yang kita derita dapat sembuh? Bisa jadi bisa. Tapi kerasnya hidup kepada kita, ibarat kata Faisal Oddang: luka yang sembuh, namun dengan rasa sakit yang tidak pernah hilang. Dan seenaknya orang lain menyebut itu semua sebagai proses!

 

Oh ya, besok saya sidang. Besok adalah masa depan, bukan? Dan pada besok itu masa depan saya dipertaruhkan. Walau saya sendiri sebenarnya tak bertaruh cukup banyak selama kuliah. Saya cuma mesti bangun pagi dan pulang ketika matahari menerik.

 

Bermula Senin berakhir Jumat. Begitu saja siklusnya. Uang kuliah saya dibayarkan pemerintah, bahkan setiap tiga atau enam bulan sekali saya diberi bantuan “biaya makan”.

 

Saya suka mengikuti seminar. Jadi hampir setiap dua minggu sekali saya ikuti. Selain pengetahuan yang saya dengarkan secara “langsung dan terkini” (dibanding mendengar ocehan para dosen yang tradisional), saya juga dapat free lunch. Benar-benar gratis. Omong kosong dengan slogan no free lunch. Take your America dude, this is Indonesia!”

 

Baca juga : Bagaimana pendidikan kita menciptakan orang terpelajar

 

Apakah saya takut pada besok? Tak terlalu. Saya menganggap para penguji sidang saya sama seperti saya: cuma manusia. Maka apa yang pantas saya takutkan? Apa kira-kira menurut Anda yang pantas ditakutkan seorang calon sarjana? Tidak dapat kerja? Oh tidak. Itu tak pernah masuk dalam rongga kepala saya.

 

Ditanya kapan nikah? Tak juga. Itu kan cuma pertanyaan basa-basi (yang jelas sudah basi sekali) tapi tetap diujarkan. Jadi apa? Mungkin Anda punya pendapat masing-masing, tapi percayalah, saya benar-benar tidak takut menghadapi hal-hal semacam itu. Selama masih berhadapan dengan manusia tanpa senjata atau peledak diperutnya, saya berani menghadapinya.

 

Setelah sidang, apa yang akan saya lakukan? Saya berencana pergi berlibur dulu. Refreshing. Tapi biayanya dari mana? Sekarang saja saldo saya terkuras untuk biaya menjelang sidang. Bukan, bukan sidangnya yang bayar. Tetapi selama mengerjakan skripsi dan ulang-alik dua minggu terakhir ini ke kampus, saya butuh gizi dan stamina yang cukup.

 

Oleh karenanya saya mesti banyak makan lezat dan sehat, serta minum segar dan dingin. He-he. Tapi tak apa. Toh uang selalu punya cara untuk habis, kan? Jangan pernah menyayangi uang Anda, gunakanlah mereka. Karena fungsi uang yang utama ialah sebagai alat pembayaran, bukan alat simpanan. Lebih baik Anda menyimpan cokelat dan kismis, daripada menyimpan uang yang sama-sekali tak bisa dimakan.

 

Kemudian apa yang paling menyakitkan menjelang sidang? Banyak tentunya. Saya tidak diberi kemudahan (artinya sama dengan dipersulit) oleh pihak kampus. Tapi sudahlah. Wajah-wajah mereka yang bergurat-gurat mengingatkan saya pada Robert Redfort. Ah tapi bedebah itu terlalu tampan. Bagaimana kalau Morgan Freeman saja? Jelas mereka bukan idola saya, saya lebih menggemari (peran) Zoe Kazan dan Anna Hathaway. Cheers untuk mereka…ting!

 

Menurut Anda, dari membaca teks di atas, bagaimanakah masa depan seorang seperti saya ini? Mungkin sebagian besar menganggap itu sebagai sesuatu yang bagus, dan saya pantas untuk punya masa depan yang baik dan karir yang cemerlang. Ah tapi itu kan cuma untuk menyenangkan hati saya. Sebab saya percaya, sifat cemburu sesama manusia itu ada.

 

Kita tidak pernah suka melihat orang lain sukses. Kita selalu suka melihat orang lain tersakiti, lalu kita datang sebagai pahlawan, dan menyelamatkannya. Lalu ia menyematkan terima kasih pada kita dengan suara lembut, atau bahkan sebuah ciuman.

 

Baca juga : Budaya kita cuma paham menutupi tubuh, tetapi hobi menelanjangi privasi orang lain

 

Tapi hidup tak cukup kalau cuma sekeparat itu. Saya tak pernah merasa aman dalam hidup. Pada saat hendak tidur, terkadang saya berdiri di balkon, memandangi aliran sungai, dan membayangkan ada berapa juta orang yang sudah mati saat ini? Lantas apakah kini sudah jadwal saya. Mungkin saya terlalu imajinatif. Tapi begitulah saya, walau tak selalu. Saya suka memikirkan hal-hal mengerikan, mengenaskan dan berbahaya.

 

Saya membenci ketiganya sebenarnya.

 

Tapi entah kenapa pikiran-pikiran seperti itu bisa terangkai dalam kepala saya. Tentu tak mungkin saya mengganti kepala saya dengan milik orang lain, yang saya yakin tak bakal lebih baik dari kepala saya.

 

Anda tahu Forrest Gump? Kalau tahu, berarti Anda tahu apa yang dilakukan ibunya agar anak tololnya itu bisa masuk sekolah. Nah, hidup dengan cara seperti itu, saya rasa tak lebih hina daripada coyote yang tengah sekarat.

 

Tuhan menciptakan banyak jalan bagi kita. Tapi tersebab kepongahan dan ketidaksadaran diri kita, jalan yang kita pilih seringkali salah. Kita tersesat dengan jalan yang kita ambil sendiri. Saat sadar, barulah kita mengutuki Tuhan telah menyesatkan kita. Pantaskah begitu? Saya kira tidak.

 

Tuhan akan terus memainkan kita sebagai bidak-bidaknya di masa depan. Lantas masihkah kita mengidam-idamkan masa depan? Saya tak berhak memutuskan.

 

Saya percaya Tuhan, dan saya percaya Ia punya cara tersendiri atas hidup saya. Sebagai manusia, saya sekadar menjadi follower-Nya, tanpa tahu ada apa di balik kelokan selanjutnya.