Connect with us

Peristiwa

Masyarakat Multikultural: Ada Apa dengan Surat Edaran Menteri Agama Perihal Pengeras Suara Rumah Ibadah?

Published

on

masyatakat-multikutural-ada-apa-dengan-surat-edaran-menteri-agama-perihal-pengeras-suara-rumah-ibadah
Spread the love

Oleh: Rosdalina Bukido

TERBITNYA Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala tanggal 18 Februari 2022 mendapat respon dari lapisan masyarakat Indonesia. Edaran Menag tersebut pasca terbitnya menjadi treanding topic di Media Sosial. Bahkan pada beberapa akun facebook beranda dipenuhi dengan statement masyarakat terhadap edaran tersebut.

Pada masa pemerintahan Orde Baru sebenarnya telah ada aturan mengenai penggunaan pengeras suara. Pada waktu itu aturan tersebut dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Musala.

Surat Edaran Menag tersebut menurut hemat penulis adalah pertama, mempertegas kembali Edaran Dirjen Bimas Islam kurang lebih 44 Tahun lamanya. Kedua, Edaran Menag tidak melarang menggunakan pengeras suara hanya saja bertujuan untuk mengatur penggunaan pengeras suara sehingga masyarakat merasa aman dan nyaman. Ketiga, pedoman penggunaan pengeras suara di atas perlu dijabarkan ke tingkat daerah masing-masing berdasarkan tipologi daerahnya. Keempat, perlu adanya kearifan lokal masyarakat setempat dengan melibatkan tokoh agama mengenai teknis penggunaan pengeras suara sehingga suasana harmoni pada masyarakat multikultural tetap terjaga dengan baik, terbingkai dalam Bhineka Tunggal Ika.

Tahun 2013, penulis pernah melakukan riset dengan judul “Persepsi Masyarakat Non-Muslim Terhadap Kumandang Adzan Subuh di Kelurahan Malendeng Kecamaatan Tikala Kota Manado”. Kelurahan Malendeng pada waktu itu terdiri dari 8 masjid, 1 musala, dan 5 gereja. Ada tiga komponen persepsi informan yakni pandangan, tanggapan dan perasaan informan.

Hasil penelitian kami bahwa respon dari para informan sebagai berikut:
1. Rumah ibadah sebaiknya didirikan pada komunitas masyarakat muslim
2. Volume pengeras suara hendaknya diatur termasuk kualitas rekaman mengaji atau sholawat.
3. Waktu penggunaan pengeras suara sesuai dengan waktu sholat.
4. Suara Muazzin hendaknya juga diatur.

Namun, hal yang menarik pada penelitian kami bahwa ternyata pengeras suara di waktu subuh memberikan manfaat positif bagi non-muslim. Manfaatnya adalah suara adzan membangun mereka untuk segera bangun beraktifitas (terutama bagi para pedagang). Suara muadzin enak didengar. Demikian juga bahwa mereka sudah terbiasa dengan suara rumah ibadah karena di gereja juga ada lonceng.

Penelitian selanjutnya adalah tahun 2019 “Pengeras Suara Rumah Ibadah dan Potensi Konfliknya pada Masyarakat Multikultural di Kota Manado dan Bali”. Penulis sebelumnya menemukan sekian banyak hal yang mengganggu kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia yakni seputar rumah ibadah. Sejumlah kasus perusakan rumah ibadah kerap terjadi, Laporan CRCS misalnya mencatat terdapat 18 kasus rumah ibadah pada 2009, dan pada 2010 meningkat menjadi 39 kasus. Demikian juga The Wahid Institute mencatat adanya peningkatan gangguan terhadap rumah ibadah. Rilis Wahid Institut tahun 2010 menyebutkan terjadi 28 kasus pelanggaran dan 34 tindakan intoleransi terhadap rumah ibadah (total 62 kasus).

Angka ini lebih besar dari jumlah angka kasus tahun 2009 meski dengan adanya perluasan wilayah kajian. Adapun SETARA Institute pada tahun 2010 lalu mencatat terdapat 59 tempat ibadah yang mengalami gangguan dalam berbagai bentuknya, baik penyerangan, penyegelan, penolakan, larangan aktivitas ibadah dan lain-lain. Bahkan, Moderate Moslem Society menyebut dari 81 kasus intoleransi, sebanyak 63 kasus (80%) adalah aksi penyerangan, penolakan rumah ibadah, dan intimidasi (Salim, 2012).

Data-data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran atas kebebasan beribadah yang dilakukan oleh pemeluk agama ke pemeluk agama yang lain. Hal ini tidak terlepas akibat kelalaian pemerintah dalam mengawasi persoalan-persoalan mengenai pendirian rumah ibadah. Rumah ibadah yang seyogyanya menjadi tempat untuk beribadah kepada Tuhan akhirnya harus dirusak, disegel, dan sebagainya karena tidak sesuai aturan menurut masyarakat setempat.

Konflik tempat ibadah di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: izin mendirikan bangunan, sengketa tanah, penggunaan pengeras suara di tempat ibadat. Penggunaan pengeras suara di tempat-tempat ibadah seperti gereja dan masjid pada dasarnya merupakan media yang digunakan untuk memberikan informasi kepada anggota gereja atau jemaah masjid tentang pelaksanaan ibadah. Namun belakangan ini, penggunaan loudspeaker justru menjadi sumber konflik di masyarakat, karena suara dari loudspeaker dirasakan oleh masyarakat mengganggu ketenteraman masyarakat, apalagi jika digunakan di luar jam ibadah utama.

Setiap komunitas umat beragama harus diakui bahwa banyak dijumpai perbedaan-perbedaan yang mencakup hampir seluruh kehidupan. Oleh karena itu, menjaga kerukunan tidak cukup hanya dengan cara memahami bahwa keanekaragaman yang ada di sekitar kita adalah faktual dan realistis, tetapi harus berupaya bagaimana agar perbedaan itu menjadi potensi untuk menciptakan kerukunan dan kedamaian (Sumbula, 2013). Untuk itulah perlu adanya upaya untuk mengantisipasi lahirnya konflik-konflik keagamaan yang disebabkan oleh hal-hal yang terkait dengan penggunaan pengeras suara.

Kondisi Sosial Kota Manado dan Bali

Masyarakat Bali melihat pengeras suara mengganggu jika dilihat dari aspek wisatawan, sebab Bali adalah destinasi wisatawan asing. Jalan yang ditempuh adalah para tokoh agama melakukan koordinasi mengenai penempatan arah TOA diarahkan ke kominitas masyarakat muslim, sehingga tidak mengganggu jam istirahat masyarakat lainnya.
Toleransi antara masyarakat sudah ditunjukkan sudah sejak lama. Di Kota Bali memiliki beberapa komunitas masyarakat yang sudah ada sejak lama, yakni komunitas Madura dan Bugis. Bugis yang berdasarkan sejarah bahwa mereka sudah diberikan tempat oleh raja pada masa itu. Selain itu, muslim merasa bahwa mereka warga asli di Bali karena dari dulu mereka sudah ada di Bali dan dari dulu pula mereka menyatakan bahwa Islam dan Hindu adalah bersaudara.

Selain wisatawan, untuk masyarakat sekitar sudah terbiasa dengan adanya pengeras suara ini. Karena masyarakat lokal sudah terbiasa jadi aman-aman saja yang terpenting adalah komunikasi yang baik antar tokoh agama. Jika terjalin komunikasi yang baik maka tidak ada masalah. Beberapa masyarakat Bali berprinsip bahwa hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan vertikal, dan itu bersifat personal. Tidak ada hubungannya dengan lingkungan. Hubungan tersebut adalah meditation of pray.

Orang terkadang memaknai perbedaan antara spiritual dan religius. Religius masih melihat secara kasat mata seperti kegiatan aktivitas yang masih dilihat dengan kasat mata. Religius lebih berkaitan dengan ketenangan. Oleh karena itu, di Bali kita mengenal empines yaitu kita bicara bagaimana kita mengenal yang tidak ada (mengosongkan) agar terlihat adanya keseimbangan antara keduanya. Dan banyak masyarakat belum sampai pada titik itu.

Menurut beberapa masyarakat non-muslim (Hindu & Kristen), pengeras suara tidak perlu ke luar cukup di dalam saja karena berhubungan dengan hak asasi manusia juga, itu harus dipikirkan. Jika orang lain tidak perlu mendengarkan hal yang tidak perlu didengarkan kenapa harus disuarakan. Kemungkinan dapat menimbulkan hal yang tidak dipikirkan.

Hubungan antara penganut agama Islam dan Hindu selalu gotong royong, namun dalam hal hubungan ibadah, masing-masing tidak saling mengusik. Jadi taraf toleransi yang dibangun sudah baik bahkan sudah aplikatif. Sejak tahun 1990 sudah terlihat bagaimana masyarakat Hindu seperti saudara kami bahkan sudah saling menginap di rumah saudaranya yang beragama lain. Dalam pembuatan masjid saja mereka saling gotong royong. Selain itu dalam takbiran umat Hindu mengawal. Dengan demikian dalam masalah agama kami sudah saling memahami. Bali dikenal dengan istilah Basudewa Kuntum Bahar yang artinya kita berasal dari satu darah dalam artian kita sama dan tidak ada perbedaan kalau ada perbedaan hanya pada urusan masing-masing salah satunya dalam agama.

Beralih ke Kota Manado. Berbagai aktivitas agama yang dilakukan oleh macam-macam agama dilakukan di Kota Manado, tidak dipungkiri kegiatan tersebut menggunakan pengeras suara. Namun melihat sikap saling menghargai satu sama lain dan juga sudah saling terbiasa dengan hal tersebut membuat hal tersebut tidak dijadikan persoalan. Bagi mereka selama tidak saling mengusik satu sama lain, maka kehidupan di Kota Manado akan indah.

Secara fungsional, bentuk toleransi pengelolaan tempat ibadah oleh pihak gereja adalah pada saat masjid melaksanakan kegiatan keagamaan yang menggunakan pengeras suara. Dimana pihak gereja tidak pernah mempermasalahkannya. Penggunaan pengeras suara (sound system) lebih sering dan panjang waktunya dan pihak gereja bisa memahami hal itu.

Masyarakat Kota Manado yang beragama Kristen pada umumnya tidak mempermasalahkan pengeras suara yang ada di masjid-masjid, malah menurut mereka itu sangat menguntungkan mereka terutama pada waktu subuh yang di mana mereka dituntut untuk bangun lebih awal. Dengan adanya azan subuh justru membantu mereka melakukan berbagai aktivitas di pagi hari.

Potensi Konfik Penggeras Suara Rumah Ibadah

Kehidupan yang plural di Indonesia sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak oleh siapapun, dan kondisi seperti itu merupakan anugerah yang harus disyukuri oleh bangsa yang besar ini, sebab dalam sejarahnya sampai saat ini negara Indonesia masih mampu mengayomi entitas umat beragama yang ada di dalamnya, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya (Yunus 2014). Perbedaan pendirian, budaya, kepentingan, dan sebagainya tersebut di atas sering terjadi pada situasi-situasi perubahan sosial. Dengan demikian perubahan-perubahan sosial itu secara tidak langsung dapat juga dilihat sebagai penyebab terjadinya (peningkatan) konflik-konflik sosial. Perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat akan mengakibatkan berubahnya sistem nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dan perubahan nilai-nilai di masyarakat ini akan menyebabkan perbedaan-perbedaan pendirian dalam masyarakat.

Pihak pemerintah, khususnya Kementerian Agama RI, melihat permasalahan ini dengan sudut pandang efisiensi. Bahwa sebagai sebuah institusi, ia harus bisa mewakili dan mengakomodasi suara keseluruhan umat beragama yang beragam. Pihak yang kontra melihat masalah ini dengan perfeksionisme. Azan adalah seruan untuk menjalankan ibadah wajib dalam Islam sehingga harus dilakukan dengan lantang agar bisa memunculkan semangat beribadah. Hal ini menjadi pergolakan batin ketika ekspektasi sempurna mengenai azan tersebut seketika harus dibatasi dengan instruksi-instruksi yang dimunculkan pemerintah. Dengan demikian, bayangan perfeksionisme mereka mengenai azan pun terbentur dengan sikap pragmatisme pemerintah melalui instruksi-instruksi tersebut sehingga muncul reaksi kontra yang demikian (Indana & Rahman, 2019).

Perubahan merupakan hal yang lumrah dan wajar, namun jika terjadi secara cepat, atau bahkan tiba-tiba dapat menimbulkan konflik sosial. Sebagai contoh, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi secara tiba-tiba, konflik sosial muncul akibat cepatnya transformasi nilai-nilai lama, seringkali bersifat agraris, menjadi nilai-nilai industri dalam masyarakat tradisional. Nilai perubahan, seperti nilai gotong royong, perubahan nilai kontrak kerja yang menyesuaikan upah menurut jenis pekerjaan.

Hubungan kekerabatan menjelma menjadi hubungan terstruktur yang tersusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai solidaritas berubah menjadi individualisme, sedangkan nilai-nilai tentang penggunaan waktu cenderung kurang ketat dan berubah menjadi pembagian waktu yang ketat di dunia industri, seperti jadwal kerja dan istirahat. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi secara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.

Agama adalah elemen pengalaman yang dianggap memiliki nilai tertinggi, yaitu pengabdian kepada kekuatan yang diyakini sebagai asal mula segala sesuatu, dan kemudian menambah dan mempertahankan nilai dan beberapa bentuk ekspresi yang sesuai dengan urusan dengan melakukan ritual simbolik atau melalui tindakan pribadi atau kelompok untuk memberikan layanan. Agama adalah cara yang digunakan manusia untuk memulihkan hubungannya dengan kekuatan di luar jangkauan manusia, yaitu kekuatan gaib, kekuatan harapan yang menjadi sandaran kepercayaan manusia. (Kencana 2013).

Terbitnya Surat Edaran Menag tersebut di atas telah merespon perkembangan sosial-keagamaan di Indonesia. Respon yang telah dilakukan oleh Kementerian Agama RI tentunya telah membaca fakta-fakta sosial, hasil-hasil riset dan pandangan Indonesia adalah multi agama, multi etnis, dan lain-lain. Point-point yang disampaikan dalam pedoman tersebut adalah jenis pengeras suara (dalam atau luar), Syiar dakwah, pemasangan dan penggunaan pengeras suara, tata cara penggunaan pengeras suara, suara yang dikeluarkan (nada) termasuk lafaz yang baik dan benar.

Semua unsur/point di atas intinya sama dengan hasil penelitian dari informan di lapangan berdasarkan riset yang telah dilakukan beberapa tahun ini.

*Penulis merupakan Akademisi IAIN Manado

Editor media warnasulsel.com - Portal media kiwari yang menyajikan berita lebih hangat berfokus berita pendidikan, sastra, buku dan literasi di sulawesi selatan

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *