Connect with us

Peristiwa

Relevansi Kepemimpinan Perempuan di Ruang Publik dalam Perspektif Feminis Islam

Published

on

Spread the love

Kepemimpinan perempuan sampai saat ini masih menjadi sebuah kotroversi yang menimbulkan perdebatan menarik. Apakah kepemimpinan di dalam rumah tangga atau di arena publik. Apalagi ketika dikaitkan dan dihubungkan dengan atas nama “agama”, seakan-akan agama tidak bersahabat dengan kaum perempuan. Agama Islam misalnya yang selama ini dikenal sebagai agama penganut patriarki Arab.

Pada zaman sekarang, juga sering terjadi pembahasan mengenai seorang pemimpin wanita. Konon, seorang pemimpin wanita itu kurang baik, kurang tegas, dan tidak selayaknya wanita dijadikan seorang pemimpin karena seorang imam seharusnya ialah seorang laki-laki. Hal tersebut menjadi pro dan kontra, banyak pihak yang setuju bahwa pemimpin itu harus laki-laki. Namun, terdapat pula pihak-pihak yang mendukung wanita untuk tetap mendapatkan haknya menjadi seorang pemimpin. Kalangan feminis dalam konsep gendernya mengatakan, bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik pada kaum laki-laki maupun perempuan hanya sebagai bentuk stereo tipe gender. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, penuh kasih sayang, anggun, cantik, sopan, emosional, keibuan dan perlu perlindungan. Sementara laki-laki dianggap kuat, keras, rasional, jantan, perkasa, galak dan melindungi. Padahal sifat-sifat tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Berangkat dari asumsi inilah kemudian muncul berbagai ketimpangan diantara laki-laki dan perempuan.

Sebenarnya al-Quran menempatkan perempuan pada posisi sederajat dengan mitranya laki-laki dalam aktivitas kehidupan bermasyarakat. Namun, kenyataan sosial dewasa ini, memperhatikan bahwa laki-laki diasumsikan sebagai sosok manusia yang lebih hebat, lebih pandai dari sisi intelektual dan profesi, tengah digugat dan dipertanyakan, meskipun tangan-tangan hegemonik laki-laki masih berusaha secara sadar atau tidak untuk tetap mempertahankannya. Firman Allah SWT dalam surat An Nahl 71 menegaskan bahwa : “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?”.

Perdebatan mengenai kepemimpinan perempuan semakin mengkristal pada sidang komisi. Perdebatan itu langsung secara bersamaan pada dua sidang komisi, yakni Komisi Keagamaan dan komisi Sosial Politik. Pada komisi Keagamaan, pembicaraan lebih ditekankan pada bagaimana landasan keagamaan terhadap kepemimpinan perempuan itu sendiri, sementara pada komisi Sosial Politik ditekankan pada bagaimana kepentingan politik umat Islam dalam menyikapi kemungkinan era kepemimpinan perempuan di negeri ini.

Membandingkan argumen-argumen dari kelompok yang anti maupun yang pro terhadap kepemimpinan perempuan di atas, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya hanyalah terletak pada soal penafsiran ataupun interpretasi. Dalam konteks ini, satu asumsi dasar perlu diperhatikan, yaitu bahwa teks-teks agama, al-Qur‟an dan Sunnah Rasul tidak selamanya mempunyai satu penafsiran tunggal dan standar yang dapat diterima oleh semua pihak. Lagi pula, ketika seseorang mencari rujukan pada teks-teks agama, sebenarnya dia tengah melakukan penafsiran atas teks-teks tersebut. Tidak satupun ketentuan agama yang dapat dipahami sebagai larangan bagi keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum laki-laki. Sebaliknya, cukup banyak ayat dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hal-hal politik perempuan.

Gerakan feminisme Islam timbul karena terdapat ketidakadilan masyarakat dalam memperlakukan wanita, perkembangan pemikiran zaman sekarang banyak muncul suara-suara yang menuntut diadakannya pembaharuan sosial dan yang paling dominan adalah perbaikan peran wanita. Misalnya ada beberapa gerakan feminisme Islam yaitu :

1. Para feminis Islam dimulai oleh Aisyah Taymuriyah pada tahun 1884-1902 (penulis dan penyair Mesir) dan Zainab Fauwaz dari Libanon yang berupaya keluar dari lingkungan tradisi dengan cara berteman dengan wanita lain satu nasib.

2. Rokhayat Hussin dan Nazar Sajjad Haidar tidak setuju dengan ide domestik wanita yang dipublikasikan dengan melalui cerita fiksi. Keduanya menyusun cerita, novel, artikel, yang di dalamnya terdapat ide tentang pembebasan kaum wanita.

3. Huda Sya‟rawi dari Mesir (1879-1947) berusaha memadukan antara adat-istiadat dengan ajaran Islam dengan menunjukkan adanya pengaruh gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh Muhammad Abduh pada abad ke-18 di Mesir. Huuda Sya‟rawi memulai karirnya sebagai feminis pada tahun 1909 dengan berusaha mengutamakan faktor kesehatan bagi wanita dan anak-anak.

4. Tokoh feminisme Islam Kontemporer yaitu Nawal el Saadawi seorang doktor dan feminis Mesir sosialis. Ia lebih banyak menekankan permasalahan kaum wanita di Mesir terutama berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, psikologi bahkan sampai kepada hal yang sensitif bagi kaum wanita (seks).

5. Riffat Hasan (Pakistan) yang menganalisis tentang sejarah lahirnya pemikiran wanita dan gender dalam Islam.

Jadi, dalam menyatakan bahwa penolakan terhadap perempuan untuk terlibat dalam ranah politik sangat tidak etis jika mengacu kepada teks keagamaan sebagaimana yang disebutkan diatas, oleh karena itu untuk berhati-hati dalam penggunaan teks-teks keagamaan yang selama ini dipandang sebagai suatu kebenaran, tetapi ternyata mempunyai cacat serius dan berimplikasi pada keterpurukan sejarah hidup perempuan.

 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *