Connect with us

Kolom

Selamat Hari Natal : Upaya Keberagamaan dalam Mencapai Kemanusiaan

Published

on

Spread the love

Penulis : Eden (Anggota Study Club Eleftheria Politik)

Hari Natal merupakan hari yang suci bagi umat Kristiani dalam mengenang kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih yang di masa hidupnya anti terhadap kemapanan di tengah konflik kepentingan kelompok-kelompok Yahudi. Beliau seorang yang sangat mengedepankan kemanusiaan, dan menjadikan agama sebagai cara untuk mengangkat martabat manusia. Terlepas dari polemik apakah Yesus tuhan atau nabi, manusia atau anak tuhan, dan segala bentuk perdebatan mengenainya yang mengarah pada perpecahan, khususnya untuk umat Islam dan Kristen bukanlah menjadi prioritas tulisan ini. Penulis menganggap bahwa perdebatan tersebut hanya pada ranah eksoteris belaka.

 

Lebih dari itu, kita mencoba menyelami bahwa titik temu antar keduanya dapat kita gapai melalui pola keberagamaan yang populis nan etis dalam menyikapi perbedaan.

Secara subtansial menurut ajaran Islam, agama adalah inheren dalam diri manusia bahkan sejak manusia dalam kandungan yang ditandai dengan adanya “perjanjian primordial”. Olehnya, hak untuk menghayati agama atau kepercayaan adalah hak otonomi individu yang tidak boleh diganggu gugat oleh pihak manapun. Tidak boleh pihak manapun dan dengan dalih apapun untuk mengintervensi kepercayaan seseorang karena itu adalah hak pribadinya. Maka menjadi logis, seseorang atau kelompok untuk tidak melakukan intimidasi, diskriminasi, bahkan kekerasan kepada pihak lain hanya karena merasa benar. Sikap tersebut adalah sikap beragama yang fundamentalis.

Pola keberagamaan ada dua, yang elitis dan populis. Pertama, pola keberagamaan yang elitis adalah menjadikan segala sesuatu berorientasi pada Tuhan (God Oriented) atau “theosentris”. Pola beragama seperti ini cenderung mengutamakan aspek eksoteris, simbol-simbol dan hal formal dari agama yang dianut. Menganggap bahwa agama bisa menyelesaikan segala permasalahan manusia. Pola seperti ini tidak salah dalam tataran keyakinan karena itu adalah ekspresi otonom individu dalam menghayati kepercayaannya. Adalah soal lain ketika seseorang mulai meng-agama-kan yang lain melalui teror dan kekerasan. Kedua, pola keberagamaan yang populis, adalah pola keberagamaan yang mengedepankan subtansi ajaran agama dan dimensi esoteriknya. Simpelnya, agama harus mewujud pada nilai-nilai kemanusiaan dan mengesampingkan paradigma yang terlalu theosentris. Oleh karena agama untuk manusia, maka agama bukan dijadikan sebagai tujuan, tetapi cara (salah satu cara) untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dan menggapai Ridho Tuhan.

Ketika melihat jejak perjuangan Yesus Kristus atau Isa al-Masih maka kita mendapati bahwa ajaran beliau tidak mendapatkan karpet merah di antara kelompok Pharisi yang kaku menafsirkan taurat (fundamentalis), Shaduki yang mengkapitalisasi baitullah, Zaelot yang memilih melakukan pemberontakan terhadap Romawi dan menuduh Isa terlalu surgawi serta kelompok Essene yang memilih hidup menjauh di gurun. Di tengah memperebutkan pengaruhnya masing-masing, Isa berujung pada tiang salib atas konspirasi dari beberapa kelompok di atas. Walau Isa telah tiada, tapi ajarannya tetap hidup.

Perjuangan Isa anak Maryam sama konteksnya dengan perjuangan Muhammad anak Abdullah yang keduanya secara tegas menyatakan perlawanan terhadap penindasan dan segala bentuk penyimpangan. Ajaran agama yang dibawa dimulai bersamaan terjadinya krisis moral, watak yang patriarkis dan sangat kapitalistik. Kita mengetahui ada sosok Muhammad, Waraqah bin Naufal dan Khadijah adalah beberapa sosok yang gelisah terhadap kondisi masyarakat Makkah saat itu yang melanggengkan perbudakan melalui kelompok tri abu, Abu Sufyan, Abu Jahal dan Abu Lahab yang namanya tertulis hina di Q.S 111.

Olehnya, dalam menyambut Natal, semangat pola keberagamaan yang populis perlu menjadi spirit kehidupan guna mencapai kebebasan individu (Self Liberation) maupun kebebasan sosial (Social Liberation). Selain itu, juga efektif untuk meminimalisir segala bentuk inferioritas satu agama terhadap agama yang lain. Ini dimulai dengan sikap beragama yang pluralis-liberal, yaitu sikap keterbukaan terhadap kebenaran dari yang lain dan menjunjung tinggi toleransi.

Penting kiranya ini menjadi basis pijakan untuk menciptakan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Agar kita tidak terjebak pada perdebatan yang kumuh, kolot dan tak bernilai bagi persatuan kemanusiaan seperti yang terjadi tiap tahun dalam momen Natal.

Wassalam.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *