Connect with us

Kolom

Ritual ‘Angngangre Adak’ di Bekas Wilayah Kerajaan Tanralili, Maros Sulawesi Selatan

Published

on

Ritual Adat Tanralili Maros
Spread the love

Oleh: Badaruddin, S.Pd., Pemerhati Gerakan Literasi dan Budaya Kabupaten Maros

 

DAHULU kala sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan di nusantara, sistem sosial masyarakat sangat kacau balau. hanya hukum rimba yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. siapa yang kuat maka dialah yang menjadi pengendali penuh atas sistem pemerintahan, sedangkan yang lemah wajib mengikuti segala ketentuan yang diputuskan oleh yang berkuasa atau menyingkir ke daerah yang dianggap lebih aman dan nyaman. Demikian juga di wilayah Tanralili dan sekitarnya.

Komunitas masyarakat yang mampu bertahan adalah mereka yang kuat secara fisik dan mental.

Tanralili adalah nama perkampunagan yang berada di desa tompobulu, kecamatan tompobulu, provinsi sulawesi-selatan.

Pada awal mulanya, tanralili hanyalah sebuah hamparan tanah berukuran kecil yaitu kurang lebih 1 (satu) Hektar Are, berada diantara dua perkampungan besar yaitu baddo ujung dan masale. Pada dua perkampungan ini terdapat beberapa komunitas yang hidup di dalamnya.

Pola kehidupan mereka mengikuti kebiasaan yang berlaku dalam komunitasnya sendiri, sehingga sangat rawan terjadi gesekan antar komunitas yang ada. Hal ini berlangsung sangat lama, sampai hadirnya seseorang yang tiada dikenal asal usulnya dan pertama kali disebutkan berada di daerah pegunungan baklasa.

Tokoh tersebut dikenal dengan istilah tu manurung. Beliau menjadikan tanah tanralili sebagai pusat pemerintahan, sehingga lebih dikenal sebagai tu manurunga ri tanralili.

Hadirnya sosok tu manurung ri tanralili dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, dianggap sebagai perwakilan tuhan di muka bumi ini. Masyarakat percaya bahwa apapun yang diperintahkan oleh tu manurung adalah untuk kebaikan tatanan kehidupan. Keberadaan tu manurung membuat pola hidup masyarakat berubah secara perlahan. segala tindak tanduk masyarakat diatur dalam norma-norma yang telah disepakati bersama masyarakat sekitarnya.

Dengan petunjuk tu manrung, sistem sosial dan pemerintahan di tanralili diamanahkan kepada pemangku adat yang dilih berdasarkan status sosialnya dalam masyarakat. Para pemangku adat dari masa ke masa diwariskan secara turun temurun. Mereka yang berhak menerima amanah adalah keturunan yang dianggap kompoten dan berintegritas tinggi terhadap kejayaan wilayah tanralili dan sekitarnya.

Pada perkembangannya, tatanan adat pemerintahan ini menjelma menjadi sebuah struktur pemerintahan kerajaan yang dikenal dengan kerajaan tanralili. Kerajaan tanralili pada masa kejayaannya merangkul puluhan kampung yang ada di sekitarnya.

Berbagai perubahan besar menuju tercapainya cita-cita luhur masyarakat tanralili terus diupayakan, para pemangku adat terus berinovasi untuk menemukan jati diri masyarakat tanralili yang dianggap memiliki watak yang keras dan sangat sulit menerima hal-hal baru. Pemangku adat secara ikhlas dan penuh tanggung jawab menjalankan fungsinya masing-masing.

Pemangku adat terdiri dari Karaeng/raja, gallarrang/kepala dusun, guru kampong/imam dusun, pinati/penghulu adat, pallapa barambang/prajurit, dan pannindoro/petani. Mereka berkolaborasi dengan baik untuk mewujudkan cita-cita bersama. Kekompakan itu terus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan ditunjukkan melalui simbol-simbol pada ritual tertentu. Salah satu ritual yang populer dan masih dilaksanakan masyarakat hingga saat ini adalah “Angngangre Adak”.

Ritual Angngangre Adak

Ritual “Angngangre Adak” di Tanralili adalah sebuah ritual makan dengan tata cara tertentu sebagai simbol stuktur dan tata kelola pemerintahan kerajaan tanralili.

Angngangre Adak dikenal sebagai ritual adat pertama di kerajaan tanralili, ritual ini biasanya dilaksanakan pada acara-acara tertentu seperti acara pernikahan dan kematian. Hal demikian dimaksudkan agar banyak warga yang menyaksikan ritual tersebut dan mengambil hikmah yang yang tertuang didalamnya, karena sudah menjadi kebiasaan bagi warga untuk berkumpul dan bersilaturahmi pada acara-acara tersebut.

Prosesi ritual “Anggangre Adak ri Tanralili” dimulai dengan menyiapkan makanan dan peralatan makan oleh tuan rumah atau pelaksana acara, setelah persiapan selesai, dayang-dayang sejumlah 40 (Empat Puluh) orang duduk berjejeran untuk saling mengoper makanan tersebut ke tempat yang telah disiapkan.

Makanan tersebut terdiri dari 7 (Tujuh) wadah, disetiap wadah lengkap dengan aneka makanan yang telah ditentukan. Setelah itu, maka dibunyikan lah gendang adat dan segera mempersilakan para pemangku adat untuk duduk ditempatnya masing-masing, posisi duduk melingkar untuk pemangku adat berbentuk lingkaran, posisi karaeng/raja berada paling atas, di samping kanan duduk 2 (Dua) gallarrang/kepala dusun dan pallapa barambang/ prajurit, disamping kiri ditempati oleh imam Kampong/ imam dusun, pinati/penghulu adat dan pannindoro/petani.

Apabila prosesi dilaksanakan di dusun baddo ujung, maka yang menempati posisi sebelah kanan adalah gallarrang baddo ujung, menyusul gallarrang masale dan pallapa barambang/tu barani.

Sedangkan posisi sebelah kiri dari Karaeng ditempati oleh imam kampong/imam dusun baddo ujung, imam dusun masale tidak dilibatkan dalam prosesi ini, posisi selanjutnya ditempati berturut turut oleh pinati dan pannindoro.

Prosesi “Angngangre Adak”

Setelah para pemangku adat telah bersiap untuk prosesi “Angngangre Adak”, pelayan segera membuka penutup makanan dan mempersilakan pemangku adat untuk melaksanakan ritualnya.

Pertama, Karaeng/raja mencuci tangan diikuti oleh gallarrang, imam Kampoeng/imam dusun, Pinati, pallapa barambang/tu barani, dan pannindoro/petani.

Kedua, para pemangku adat menyuap nasi sebanyak 3 (Tiga) kali. Ketiga, pappakangre Adak/pemberi nasi menambah nasi kepada para pemangku adat.

Keempat, para pemangku adat kembali menyuap nasi sebanyak 3 (Tiga) kali dan ditambahkan lagi oleh pappakangre Adak. Hal ini berulang sampai para pemangku menyuap nasi sampai 9(Sembilan) kali.

Kelima, karaeng/raja menyelesaikan makanannya dan diikuti oleh pemangku adat lainnya.

Pada prosesi ritual adat “Angngangre Adak” mengandung banyak hikmah kehidupan yang dapat kita petik didalamnya.

Di antaranya adalah pertama, pada permulaan prosesi, yang mencuci tangan pertama sebagai tanda akan memulai makan adalah Karaeng/raja.

Hal Ini mengisyaratkan bahwa kita senantiasa menjadikan pemimpin diantara kita sebagai teladan dalam adab-adab yang baik.

Kedua, bahwa dalam prosesi makan, para pemangku adat menyuap nasi sebanyak 9 (Sembilan) kali sebagai wujud kepatuhan terhadap Sunnah nabi muhammad SAW, yang mana nabi menyukai hitungan ganjil pada kegiatan makan dan menganjurkan berhenti sebelum kenyang, hal ini pun sangat bermanfaat untuk kebugaran.

Ketiga, menu makanan yang terdapat dalam wadah memiliki aneka rupa yang sama, hal ini menunjukkan tentang aplikasi keadilan dalam kehidupan, yang membedakan hanyalah amanah yang diemban oleh masing-masing pemangku adat.

Keempat, posisi duduk melingkar oleh para pemangku adat mengisyaratkan bahwa keutuhan sebuah sistem pemerintahan dan tatanan sosial kemasyarakatan apabila semua unsur masyarakat dapat memahami dan menjalankan fungsinya masing-masing.

Ritual “Angngangre Adak ri Tanralili”, mengingatkan kita betapa kita punya kekayaan budaya yang luhur dari berbagai daerah dan titipan pesan-pesan moral yang tinggi terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, sepatutnya kita bersyukur kepada Allah SWT atas keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu dengan cara memelihara budaya luhur para leluhur se-nusantara.

Menjadikan simbol kebanggaan dan landasan untuk terus berupaya mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Sehingga kita dapat saling memperkenalkan budaya baik antar negara dan menjadikan sebagai khazanah dalam kehidupan.(*)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *