Connect with us

Kolom

Rekonstruksi Tuntutan Mahasiswa Terhadap Persoalan Bangsa

Published

on

Spread the love

Sumber foto : makassar.sindonews.com

Penulis : A. Muh. Rifky Nugraha

Aksi penolakan penundaan Pemilu tahun 2024 dan penolakan Presiden 3 periode kian mencuat di kalangan pemuda, khususnya mahasiswa. Hadirnya wacana tersebut, menciptakan stigma dan pemikiran yang mengantarkan kita pada suatu persoalan serius yang perlu diantisipasi untuk tidak direalisasikan. Bahkan yang lebih parah, tuntutan untuk menurunkan Presiden Jokowi dari jabatannya gencar disuarakan, anggapan yang mencuat adalah beliau dianggap pemimpin otoriter dan juga merupakan tokoh yang berlatar belakang oligarki, kekuatan elite yang bersemayam di belakang Presiden Jokowi, dianalogikan dapat membantu diimplementasikannya wacana tersebut.

Namun, di sisi lain saya menganggap. Jika, isu yang dibawakan adalah untuk menurunkan Jokowi, itu merupakan bentuk kekeliruan yang perlu didudukkan secara logis. Mengapa demikian? Karena tidak mungkin suatu masa jabatan Presiden ditambah begitu saja dengan konteks yang mudah, tidak mungkin penundaan Pemilu direalisasikan secara sepihak dan semaunya. Yang perlu ditekankan, adalah Indonesia merupakan negara hukum. Aturan tentang masa jabatan Presiden secara jelas dan tegas diatur dalam pasal 7 undang-undang dasar tahun 1945 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan,” artinya masa jabatan Presiden ditetapkan maksimal hanya dua periode. Dalam pasal 1 ayat 3 undang-undang dasar tahun 1945 secara tegas menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Segala sesuatu yang hendak diimplementasikan di negara ini, harus melalui pertimbangan konstitusi secara rinci dan melibatkan seluruh elemen negara, terkhusus rakyat Indonesia. Peran para pakar, akademisi dan rakyat Indonesia merupakan hal yang sangat penting untuk didengarkan dan dipertimbangkan, karena segala bentuk kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan harus menuai asas kemanfaatan, kepastian, keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat itu sendiri. Justru, yang terjadi saat ini adalah, banyaknya stigma Mahasiswa yang terlalu khawatir dengan wacana ini, yang secara dinamis menentukan kesimpulan untuk melakukan pergerakan dan tuntutan garis keras dengan grand isu penolakan Presiden tiga periode, penundaan pemilu, kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga BBM jenis pertamax.

Dari persoalan di atas, kita dapat meninjau masing-masing grand isu yang dianggap sangat bermasalah saat ini. Pertama, isu Presiden tiga periode. Poin itu, dinilai sebagai isu yang yang seakan-akan dalam waktu dekat akan terjadi dan diimplementasikan oleh rezim penguasa. Tapi, di sisi lain untuk mencapai hal itu diperlukan adanya amandemen terhadap undang-undang yang berlaku di Indonesia, untuk melakukan amandemen dibutuhkan waktu dan pertimbangan ilmiah yang sangat akurat dan realistis. Dari sini, kita dapat berpikir jernih, jika isu Presiden tiga periode merupakan wacana yang sulit untuk diterapkan, terlebih Indonesia adalah negara hukum. Meskipun, koalisi partai pendukung rezim penguasa cukup banyak. Namun, itu tidak menjamin bahwa semua pro terhadap masa jabatan Presiden tiga periode. Hal menarik yang semestinya disuarakan oleh mahasiswa adalah bagaimana mengangkat grand isu menolak amandemen undang-undang dasar tahun 1945. Karena Presiden tiga periode akan muncul jika terjadi amandemen ke lima yang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Ke dua, menolak penundaan Pemilu. Alasan untuk menormalisasikan perekonomian dan meningkatkan investasi para investor di Indonesia yang sebelumnya dikatakan melemah dan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat merupakan landasan yang dijadikan pemerintah untuk menunda Pemilu tahun 2024. Alasan kuat yang lain, adalah hadirnya proyek Ibu kota Nusantara di Kalimantan yang menuai banyak keuntungan oleh kalangan oligarki dan elite di rezim penguasa saat ini, hingga kemudian menjadi stigma bahwa mereka mementingkan ego dan kerakusan pribadi ditubuh para tokoh pemerintahan. Di sisi lain, poin tuntutan ini merupakan suatu wacana yang cukup sulit untuk direalisasikan, karena harus melakukan perubahan nomenklatur konten dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 tepatnya di pasal 22 E ayat 1. Pasal 22 E ayat 1 berbunyi secara tegas bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Secara tegas, aturan itu memberikan amanat fundamental jika Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sementara wacana penundaan Pemilu yang mencuat saat ini, itu hanyalah sebuah wacana yang sulit untuk diterapkan tanpa melalui amandemen undang-undang dasar tahun 1945. Wacana tersebut juga menunjukkan kelemahan karena bersifat inkonstitusional. Ini pun sebenarnya sangat sulit, karena untuk melakukan perubahan terhadap pasal yang ada di dalam undang-undang 1945, jalannya mesti melalui amandemen terlebih dahulu, amandemen pun dilakukan butuh waktu dan kompromi-kompromi panjang yang harus dibicarakan dan didudukkan secara aktif dengan melibatkan seluruh elemen negara. Seharusnya, kawan-kawan mahasiswa mendesain wacana ini dalam satu grand isu yakni penolakan amandemen undang-undang oleh DPR, karena grand isu penundaan Pemilu dan masa jabatan Presiden 3 periode itu akarnya harus melewati amandemen terlebih dahulu.

Dengan demikian, ke dua wacana tersebut merupakan suatu hal yang perlu dikawal secara serius melalui pertimbangan-pertimbangan ilmiah yang landasannya kuat dan benar-benar memiliki dampak yang buruk terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Poin tuntutan selanjutnya adalah kelangkaan minyak goreng dan mengusut tuntas mafianya. Sekiranya, poin tuntutan ini menjadi kekeliruan. Mengapa demikian? Karena kelangkaan minyak goreng berawal dari adanya kebijakan Menteri Perdagangan yang ditetapkan pada tanggal 19 Januari 2022 lalu, dengan memberikan subsidi harga minyak goreng dengan konsep satu harga yaitu sebesar Rp. 14.000 per liternya untuk semua jenis kemasan. Berangkat dari kebijakan itulah, para pengusaha besar melakukan penimbunan terhadap minyak goreng dan menimbulkan kelangkaan di kalangan masyarakat. Sementara stok minyak goreng subsidi yang disiapkan pemerintah saat itu sebanyak 250 juta liter dan dapat menjamin kebutuhan masyarakat. Namun, kelangkaan minyak goreng yang diakibatkan oleh adanya subsidi harga itu, menyebabkan keresahan serius di kalangan masyarakat.

Mereka kesulitan untuk memperoleh minyak goreng subsidi. Selanjutnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfhi secara resmi mencabut kebijakan harga eceran tertinggi (HET) dengan keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022. Sebelumnya sejak 1 Februari 2022, Kementrian Perdagangan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng. Harga eceran tertinggi minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, minyak goreng kemasan premium Rp 14 ribu per liter. Sementara itu, dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022 pemerintah masih menetapkan HET minyak goreng eceran di angka Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram, dan saat inipun minyak goreng masih mengalami kelangkaan.

Seharusnya dari kemarin-kemarin, sebelum kebijakan subsidi harga minyak goreng ditetapkan oleh pemerintah, kawan-kawan mahasiswa sudah seharusnya mengambil langkah aspirasi untuk melakukan penolakan, karena status kebijakan itu masih bersifat usulan yang notabenenya dapat disetujui dan dapat pula ditolak, maksud yang perlu dipertegas adalah ketika ingin melakukan bentuk protes dan kritikan, gerakan aspirasi mahasiswa seyogyanya lebih baik dimulai di awal, di mana suatu kebijakan masih berstatus wacana dan dalam tahap pembahasan. Jangan menunggu banyak persoalan yang ujung-ujungnya menyebabkan masyarakat kesusahan, barulah kemudian ada suatu pergerakan.

Sebenarnya, jika kemarin subsidi harga minyak goreng dikawal dengan baik oleh mahasiswa, bisa saja kelangkaan minyak goreng ini tidak terjadi, apalagi konsep penolakan isu subsidi harga minyak goreng ini didesain dengan baik, seperti mempertimbangkan segala bentuk kemungkinan buruk yang akan terjadi dan memberikan tawaran alternatif solusi untuk mencegah kemungkinan terburuk yang akan mencuat, tentunya hal itu dapat dicegah dan diatasi dengan mudah. Dengan begitu, saya pun dapat menjamin gerakan mahasiswa akan didukung kuat oleh masyarakat terkhusus emak-emak.

Selanjutnya, poin tuntutan yang ke empat adalah penolakan kenaikan harga BBM dalam hal ini adalah pertamax. Kenaikan harga BBM jenis pertamax ini sudah ditetapkan oleh pemerintah dan faktanya telah terjadi. Pada tanggal 1 April 2022 lalu, Pertamina telah menaikkan harga BBM non subsidi jenis pertamax yang sebelumnya Rp. 9000 per liter menjadi Rp. 12.500 hingga Rp.13.000 per liter. Kenaikan pertamax ini tentu sangat berdampak dengan harga bahan pokok yang juga ikut merembes dan mengalami peningkatan harga. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang diakibatkan oleh kenaikan harga pertamax membuat masyarakat kalangan bawah samoai masyarakat miskin tentu akan melarat dan menjerit karena keterbatasannya untuk membeli bahan-bahan pokok untuk kelangsungan hidupnya. Sehingga, Poin tuntutan ini, juga seharusnya disuarakan dan ditolak dengan keras oleh kawan-kawan mahasiswa pada saat masih berstatus sebagai isu atau usulan. Karena dalam status usulan inilah segala sesuatu dipertimbangkan dengan baik dan matang atas dasar kepentingan rakyat, karena kesejahteraan rakyat merupakan hak yang harus dijamin dan dipenuhi secara nyata. Akan tetapi, yang terjadi sekarang gerakan mahasiswa untuk menolak kenaikan harga BBM jenis pertamax ini momentumnya kurang tepat. Karena kebijakan ini telah ditetapkan dan telah diberlakukan. Maka, itu akan sulit untuk dinormalisasi lebih lanjut dan ketentuannya akan rumit untuk diubah.

Oleh sebab itu, berdasarkan uraian di atas ada indikasi keterlambatan dan kekeliruan di kalangan mahasiswa dalam melakukan pergerakan unjuk rasa. Seharusnya, bentuk protes yang lebih baik dilakukan adalah bagaimana aspirasi dan bentuk protes mahasiswa hadir diawal dalam setiap wacana atau isu yang ada di tubuh pemerintahan saat ini. Pentingnya gagasan atau ide-ide kritis dan solutif dalam meninjau segala bentuk kemungkinan yang akan terjadi memang harus dipertimbangkan dengan matang agar dapat meminimalisir realitas keburukan akibat dari kebijakan itu sendiri.

Adanya evaluasi setiap kebijakan, mungkin menjadi penyebab kaum terpelajar kurang cekatan dalam merespon isu yang dianggap menjadi sebuah problematika. Evaluasi kebijakan pemerintah memang sangat penting untuk dilakukan, karena tindakan evaluasi inilah yang dapat mengantarkan kita pada suatu perspektif untuk mengetahui seberapa besar dampak positif dan dampak negatif yang diakibatkan oleh suatu kebijakan pemerintah. Dari evaluasi inilah segala bentuk kekurangan dari suatu kebijakan akan diminimalisir dan aspek kebaikannya akan ditingkatkan.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah bagaimana sebaiknya kaum terpelajar yang lazimnya disebut sebagai mahasiswa mendesain aksi protes, penolakan dan evaluasinya secara elegan terhadap suatu kebijakan pemerintah. Dengan menuangkan segala bentuk pikiran, ide dan gagasan ilmiah terbaiknya dalam bentuk draft yang berisikan kritikan dan solusi terbaiknya atas dasar kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Sekiranya, ruang-ruang aspirasi yang diperuntukkan kepada pemerintah itu terbuka bebas, apalagi dalam konteks negara demokrasi. Langkah terbaik selanjutnya, untuk mengawal draft tersebut, diskusi dan komunikasi secara kolektif harus aktif dan massif diterapkan antara kalangan mahasiswa dan para memangku pemerintahan, guna mencapai kesepakatan yang tepat sasaran.

 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *