Connect with us

Kolom

Diamnya Fadil dan Moderasi Beragama

Published

on

DIAMNYA FADIL DAN MODERASI BERAGAMA
Spread the love

Sebuah catatan ringan tentang moderasi.

(Bagian satu)

SUASANA di kantin belakang kantor kementerian agama kabupaten Gowa agak sepi. Selalu sepi memang kalau siang jelang ashar begini.

Hanya ada tiga pria dewasa yang lagi duduk.

Fadil, Gelo dan Ammar.

Di depan mereka ada dua gelas kopi yang nyaris habis.

Berarti gelas kopinya kurang satu. Sepertinya Fadil yang tidak ngopi ataukah sudah habis lalu gelasnya telah diambil sang empunya kantin. Entahlah.

“Selamat datang, bang haji” sambut Gelo dan Ammar saat melihatku mendekat. Mereka berdua kerap memanggilku bang haji.

“Halo juga,” balasku ramah. Mataku melirik Fadil yg hanya memandangku sekilas sambil tersenyum lebar.
Kuanggap senyumnya itu adalah ungkapan selamat datang yang tak sempat terucap.

“Ini kalian lagi ngobrol apa?, dari jauh saya melihat kalian berdua ini asyik ngobrol” tanyaku setelah saya meletakkan pantatku di bangku yang tidak empuk.

“Kalian lagi bicara tentang perempuan pasti?” Saya mencoba menebak.

Sontak Ammar dan Gelo saling berpandangan geli.

Fadil diam saja meski tetap ada senyum tersembunyi di bibirnya yang nganggur dari rokok.

“Biasalah, bang haji,” jawab Ammar.

“Kita ngobrol tentang hutang lndonesia” tambah Gelo. “Apa??, kutang??” Sergah saya, kaget.

“Hutang, bang haji! Hutang!” Jawab Gelo cepat sambil meninggikan suara saat menyebut HU pada kata hutang.

Kami semua tertawa berderai kecuali Fadil yang hanya tersenyum lebar. Matanya tetap ke layar HP.Diam.

“Ternyata negara kita ini sudah nyaris tenggelam dengan hutang yang menumpuk ya, bang haji” Gelo membuka pembicaraan. Ada nada prihatin di nada bicaranya.

“Ya gimana lagi, konsekwensi logis dari adanya proses pembangunan di sistem ekonomi global saat ini ya hanya lewat hutang,” kata saya agak sotta. (sok tahu)

“Ehh, Ammar sempat nginap di lokasi kemah moderasi bulan lalu?” Saya mengalihkan pembicaraan karena takut dicecar pertanyaan lanjutan soal kutang,..ehh hutang lndonesia. Saya tidak begitu piawai membahas soal capitalist economic system yang menglobal itu.

“Tidak sempat saya nginap, pak haji. Kalau kemah pramuka jaman sekolah dulu ya saya ikut tapi kalau kemah moderasi saya tidak ikut, bang.” Jawab Ammar.

“Apa bedanya kemah pramuka dan kemah moderasi, bang? Kenapa mesti ada kemah moderasi?” Kali ini Gelo yang bertanya.

Saya perhatikan mukanya, ternyata dia bertanya serius.

“Apa itu moderasi?” Sambungnya lagi. Serius.

Tangannya meraih rokok yang ada di depannya.

“Apakah onjo nikana moderasi?” (Apakah yang disebut moderasi itu?)
Saya balik bertanya ke mereka bertiga. Ammar dan Gelo mengangkat bahu.

“Saya sering mendengar istilah moderasi itu tapi sejujurnya saya belum paham,bang haji” jawab Gelo tetap serius.
Dia mengisap rokoknya dalam-dalam. Pertanda serius kalau begini.

“Kamu, Mar, kamu paham apa itu moderasi? Pertanyaan saya arahkan ke Ammar yang juga mulai memperbaiki gaya duduknya. Ammar menggeleng. Tanda tak tahu.

Dia mulai juga serius. Mengikuti jejak Gelo, Ammar meraih rokok lalu membakarnya.
Lalu saya menoleh ke Fadil. Hmm..Fadil diam saja.

“Onjo nikanaya moderasi (yang disebut moderasi) adalah sebenarnya cara pandang kita untuk selalu baik baik saja dalam beragama apalagi dalam bertingkah laku sosial. Iaji onjo (itu saja) sebenarnya.” Kata saya mulai menjelaskan.
Biar terkesan pintar maka saya menjelaskan sambil menggerakkan tangan.

“Moderasi itu persoalan cara pandang saja tentang bagaimana kita harus bersikap netral, tidak ekstrim dan radikal” tutur saya tenang.

“Kita jalankan apa yang menjadi perintah agama dengan wajar dan tidak berlebihan” sambung saya lagi.

“Ada dalilnya itu moderasi?” Tanya Gelo.

Ya, pertanyaan standar bagi orang yang tertarik akan suatu tema.

Apa pun harus ada dalilnya. -Bahkan jangan-jangan urusan makan bassang atau cendol sekalipun harus berdasar dalil.

“Ada dooonn!” Timpal saya okkots.

“Ada di al-Quran. Surah al- Baqarah ayat 143.  Di situ disebutkan bahwa kita ini sebagai orang lslam dijadikan sebagai Ummatan wasathon.”

Agar Gelo tidak mengejek suaraku yang hancur maka saya membacakan ayatnya tanpa nada.

Suaraku datar saja.

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

Battuanna anne ayatka (arti ayat ini):

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasath.”

Gelo mengangguk tenang saat mendengar saya membacakan dalil.

Ammar juga begitu.

Fadil tetap diam tapi kepalanya terlihat manggut- manggut tanda bahwa dia mencermati obrolan.

“Terus apa apa itu wasath? Wasath itu padanan kata dari tawassuth yg artinya berada di tengah-tengah, i’tidal atau adil dan tawazun atau berimbang.

Dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah.

Makanya orang yang terapkan konsep wasathiyah ini disebut wasith.

Sekarang kita sebut pihak yang berada di posisi netral dalam pertandingan adalah wasit.
Maksudnya posisi wasit itu netral, jadi moderasi itu wasathiyah,” beber saya panjang lebar.

“Sampai di sini mulai paham to apa itu moderasi?” Tanya saya, mengukur tingkat pemahaman mereka.

“Paham, paham” kompak Ammar dan Gelo menjawab.

Nampak beberapa karyawan melintas di dekat kantin menuju masjid al- Amanah.

Tak lama kemudian terdengar pak Bur mengumandangkan azan. Suaranya sebenarnya jauh dari kata merdu tapi tak apalah.

Setidaknya beliau melebihi kami di kantin sini dalam hal kesigapan mencermati masuknya waktu sholat.

“Ok, nanti kita lanjutkan di lain waktu, saatnya kita sholat….?” saya menggantung kalimat lanjutan.

“Dhuhurrrr!” Kompak Ammar dan Gelo meneruskan kalimatku sambil tertawa. Fadilpun ikut tertawa.

“Mantappp!” Sambutku sambil menahan tawa yang mau meledak.

Saya melihat jam tanganku. Pukul 15.34.(*)

H.AO
Sungguminasa, 12/09/22

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *