Connect with us

Kolom

Menilik Efektivitas Sistem Proporsional Tertutup

Published

on

Spread the love

Oleh : Rahmi (Mahasiswa Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar)

Perdebatan mengenai sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional terbuka menjadi sangat intens di kalangan masyarakat Indonesia, hal ini dibahas dan dikaji lebih mendalam oleh Anggota Dewan Perwakilan rakyat. Ada beberapa problematika sosial yang mengancam
eksistensi demokrasi di Indonesia ketika sistem pemilihan umum dilakukan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. Jika ditinjau berdasarkan perspektif sosiologi politik, dapat kita lihat dari aspirasi masyarakat sebagai pemohon untuk menguji dan meninjau kembali pemberlakuan sistem pemilihan proporsional terbuka, yaitu :

1. Masyarakat melihat kekuatan dan pengaruh individu dalam proses Pemilu yang begitu besar cenderung mengarah pada populisme semata yang bisa membahayakan bentuk negara dalam hal ini adalah bentuk negara kesatuan sebagaimana Pasal 1 ayat (1). Hal ini dapat terlihat dari beberapa tahun sejak Pemilu tahun 2019 polarisasi masyarakat dan penggalangan massa oleh individu populis telah mengoyak rasa persatuan dan kesatuan di masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena orang-orang memiliki hasrat untuk menjadi populer demi menggalang dukungan massa. Tokoh populis ini berupaya terkenal secara instan dengan segala cara tanpa harus ada ikatan pada rambu-rambu konstitusi. Bahwa mereka justru memanfaatkan kendaraan ormas (organisasi massa) dan orang-orang kuat (strongman) untuk menggalang dukungan publik secara sporadik, seperti FPI, Forkabi, Laskar Merah Putih, PP, dan Forum Betawi Rempug/FBR (Ian Wilson dalam Made Supriatna dan Hui Yew Foong, 2022).
2. Cara instant dilakukan oleh tokoh politisi untuk merebut kursi sebagai anggota
legislatif di dalam suatu daerah. karena tidak adanya pendidikan politik yang mapan dari sistem partai politik. Seseorang menampilkan diri ke publik tanpa melalui seleksi dan kaderisasi terlebih dahulu melalui sistem yang demokratis dan taat konstitusi dalam setiap langkahnya. Lebih jauh lagi dengan adanya bentuk liberalisasi dan kebebasan tanpa batas dalam Pemilu dalam demokrasi kita ternyata dapat dibajak oleh ideologi radikal, premanisme, dan mengarah kepada anarkis yang menunggangi kebebasan itu sendiri untuk dapat tumbuh di NKRI. Hal ini seperti yang terjadi pada saat pemilihan kepala daerah di Jakarta tahun 2017 di mana terjadi penggalangan massa oleh tokoh populis perorangan. Hal ini tentu dapat mengancam negara kesatuan yang sebagai dasar negara kita.
3. Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, berpotensi dilanggar haknya karena sistem proporsional terbuka menimbulkan persaingan yang tidak sehat yang menitikberatkan pada aspek popularitas dan kekuatan modal dalam proses pemilihan umum. Hal ini karena tidak adanya saringan yang baik dalam proses pencalonan anggota DPR/DPRD. Apabila sistem proporsional tertutup diterapkan, maka kader- kader yang sudah berpengalaman di kepartaian memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi anggota DPR dan DPRD meskipun tidak memiliki kekuatan modal dan popularitas. Walaupun dalam struktur kepemimpinan nasional partai politik menentukan siapa saja yang dapat diusulkan menjadi calon anggota legislatif, namun pada kenyataannya partai politik akan terdorong mencari calon yang memiliki modal dana besar dan populer. Hal ini terbukti dari 3 kali Pemilu sejak ditetapkannya sistem
proporsional terbuka.
4. Sistem proporsional terbuka merugikan masyarakat karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal (high cost). Sistem pemilu proporsional terbuka berbasis penentuan berdasarkan suara terbanyak ini telah menciptakan model kompetisi antar Caleg dalam pemilu yang tak sehat. Itulah sebabnya orientasi meraih suara terbanyak telah mendorong Caleg melakukan kecurangan, seperti pembagian uang (money politics) ke pemilih agar dipilih dalam pemungutan suara. Hal ini menyebabkan pemilih bersifat pragmatis dan materialistis dalam memilih caleg. Politik uang ini juga termasuk pemberian uang ke panitia penyelenggara pemilihan, hal ini , misalnya untuk memindahkan suara partai ke suara perseorangan (nomor urut atau nama orang) dalam tahap rekapitulasi suara.
5. Sistem proporsional terbuka mengakibatkan kerugian yang dialami oleh kader partai karena tidak mendapatkan prioritas untuk dicalonkan oleh partai sebab partai pada akhirnya lebih memilih mencalonkan calon anggota legislatif yang memiliki popularitas dan uang untuk mendapatkan suara dari para pemilih, sehingga kader partai yang sudah mengabdi selama ini dengan mudah tersingkir dari proses pencalonan
anggota legislatif pada partainya sendiri.
6. sistem pemilu proporsional terbuka ini hanya menguntungkan individu yang memiliki uang banyak dan tidak ada kompetisi yang sehat antara pengurus partai dan para caleg pragmatis tapi bermodal banyak. Menurut pemohon di sinilah terdapat korelasi yang cukup kuat mengapa korupsi politik (political corruption) menguat pasca pemilu di
Indonesia. Karena para Anggota DPR dan DPRD harus mengembalikan modal uang
yang dikeluarkan saat berkompetisi dalam pemilu. Materialisme ini tentu dapat merusak sistem demokrasi.
7. Masyarakat dirugikan karena para caleg yang hadir hanya memanfaatkan materi semata dan tidak menjelaskan mengenai pendidikan politik kepada masyarakat, mengabaikan ide, gagasan dan platform politik partai politik. Caleg dalam mempengaruhi pemilih dan memasarkan parpol (political marketing) tak lagi berlandaskan ideologi parpol, melainkan berdasarkan sejumlah uang untuk menarik pemilih. Hal tersebut ditambah lagi segala cara untuk meraih dukungan termasuk adanya intimidasi dan ancaman kepada pemilih yang dilakukan oleh tim sukses Calon legislatif (Caleg).

Alasan tersebut menunjukkan bahwa sistem proporsional terbuka, berpotensi menyebabkan kemunduran demokrasi. Hal itu dikarenakan, partai politik tidak menjalankan perannya sebagai organisasi politik yang mampu mengkordinir anggota/kadernya dengan baik untuk maju sebagai anggota dewan perwakilan rakyat. Ini dibuktikan pada saat tahapan pemilu, banyak ditemui individu yang menjadi calon legislatif, bukan dari kader partai politik. Tetapi, partai fokus melirik individu yang memiliki modal popularitas, elektabilitas dan modal materi yang meyakinkan. Untuk direkrut sebagai calon anggota dewan perwakilan rakyat, partai politik hanya fokus pada bagaimana memenangkan pemilu dan memperoleh kursi serta suara terbanyak. Padahal seharusnya, peran partai politik adalah mencetak kader politisi yang memiliki gagasan, ide dan visi yang berkualitas, melalui proses kaderisasi dan pendidikan politik.

Dengan demikian, sistem kaderisasi dan pencalonan sebagai anggota dewan perwakilan rakyat adalah hak mutlak yang dimiliki oleh para kader yang memiliki kapasitas dan kredibilitas. Partai seharusnya tidak serta merta merekrut dan menggaet individu di luar sana yang hanya bermodalkan relasi dan materi. Karena untuk mewakili rakyat, masyarakat tidak membutuhkan modal eksistensi dan materi yang berlimpah. Masyarakat membutuhkan wakil di parlemen yang benar-benar memiliki karakter berintegritas, berdedikasi dengan penuh tanggung jawab, mampu
memperjuangkan dan merealisasikan aspirasi masyarakat, dapat mengedepankan kepentingan bersama dibanding kepentingan kelompok, serta memiliki idealisme yang berkualitas. Agar dapat responsif dan tanggap melihat masalah sosial yang ada dan mampu menemukan solusi terhadap
masalah sosial tersebut.

Sementara itu, sistem pemilihan proporsional terbuka juga menggunakan banyak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai partai politik, tahapan pemilu, sosialisasi pemilu dan pelaksanaan pemilu di seluruh daerah yang ada di Indonesia. Penggunaan APBN dengan jumlah yang besar ini, ketika dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan mutu pendidikan, menanggulangi kemiskinan dan mengatasi masalah pengangguran.

Salah satu potensi yang baik, jika sistem proporsional tertutup diterapkan di Indonesia adalah membuka peluang bagi kader partai politik. Untuk sama-sama bersaing secara idealis untuk berkontribusi dalam mendesain proses pemilu yang berkualitas di mata masyarakat. Potensi yang dilihat di sini adalah bagaimana pendidikan politik dan kaderisasi kader partai politik dapat efektif membangun individu yang berintegritas, cerdas dan mampu bekerja dalam koridor kepentingan umum. Dengan demikian, masyarakat akan dimanjakan dengan program strategis yang mampu memanjakan kebutuhan hidup dan taraf kesejahteraannya.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *