Connect with us

Society, Weddings

Childfree atau tidak childfree, debat kok menghujat?

Published

on

Spread the love

 

Akhir-akhir ini topik childfree menjadi trend yang sedang naik daun di berbagai platform social media. Setelah gita Savitri, salah satu influencer Indonesia yang tinggal di Jerman, mengemukakan pilihan hidupnya untuk tidak memiliki anak. Hal ini kemudian menjadi perdebatan netizen Indonesia. Mirisnya, mereka terkesan memaksakan pandangan dan ekspektasi mereka kepada sang influencer untuk mengikuti mindset orang Indonesia pada umumnya bahwa output dari pernikahan adalah memiliki keturunan, atau memaksakan stigma bahwa perempuan akan dianggap sempurna hanya jika mereka dapat melahirkan keturunan. Tidak hanya itu, justifikasi selanjutnya menuding pasangan gita dan paul tidak mengikuti ajaran agama Islam dan masih banyak lagi.

Kita sering mendengar atau mengatakan, hidup adalah soal pilihan, tapi kenapa kita seringkali mempersalahkan pilihan oranglain?. Childfree adalah pilihan hidup, dan seseorang berhak untuk memilih atau tidak memilihnya. Tentunya mereka yang memilih opsi ini punya alasan pribadi seperti halnya mendapatkan trauma atas cara orangtua membesarkan mereka sehingga tidak ingin jika mereka mempunyai keturunan mereka akan melakukan hal yang sama, atau memilih tidak memiliki anak karena merasa tidak siap atas beban dan tanggung jawab baru dalam hidup, atau mungkin memilih tidak mempunyai anak karena ingin fokus pada goals lain dalam hidupnya adalah hal yang sah-sah saja dalam hidup ini.

Jika memilih childfree juga dipandang tidak menjalankan ajaran agama dengan baik, saya rasa pandangan ini juga keliru, karena bentuk penghambaan kepada Tuhan (dalam Islam) dalam perihal ibadah ghairu mahdhah ada berbagai cara. Dalam sejarah Islam, ada beberapa cendikiawan dan tokoh yang memilih untuk tidak memiliki keturunan “bahkan” tidak menikah karena ingin focus dalam dakwah dan kontribusinya terhadap agama. Salah satunya, Imam Nawawi (w.676), ulama tersohor bermazhab Syafi’I yang memprakarsai lebih dari 40 karya ilmiah terkenal, memutuskan untuk hidup sendiri. Beliau menghindari kemungkinan akan terhalangnya focus pengabdiannya akan ilmu agama jika ia menikah. Namun bukan berarti beliau menyalahi syariat dan sunnah nabi, pilihan ini atas dasar pertimbangan yang matang dan menggunakan hati nuraninya. Beliau juga tidak mengkampanyekan pilihannya tersebut agar diikuti oleh orang lain. Juga sosok Rabiah Al-Adawiyah, seorang sufi wanita tersohor yang tidak menikah karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah swt.

Sejuah yang penulis tahu, mba gita memang seorang influencer yang sering mengemukakan pendapatnya terhadap satu permasalahan di sosial media based on her point of view, dan mengkampanyekan isu-isu kesetaraan gender dan hak-hak wanita lainnya. Namun untuk topik childfree sendiri, merupakan pilihan yang tidak ia kampanyekan agar masyarakat Indonesia ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Sebelumnya, gita hanya youtuber yang menciratakan tentang kehidupan mahasiswa di Jerman, pandangan dia terhadap masalah dan trend yang terjadi di Indonesia, dan aktivitas travelling di berbagai negara. Pilihan hidup childfreenya justru menjadi booming setelah, netizen ingin tahu dan terkesan mendikte apa yang gita dan paul harus lakukan setelah menjadi pasangan keluarga.

Di sisi lain, banyak yang merespon viralnya pilihan childfree ini dengan berbagi pandangan tentang indahnya kehidupan berumah tangga dan memiliki keturunan. Tentu tidak salah dan sangat perlu diapresiasi untuk mereka yang mengambil pilihan untuk memiliki anak. Menjadi orangtua merupakan tanggang jawab yang besar dan tugas yang mulia tidak hanya untuk membesarkan seorang manusia namun juga mendidik seorang insan untuk menjadi hamba yang taat kepada Tuhannya. Oleh karena itu, tidak semua orang diberikan amanah ini oleh Tuhan. Tuhanpun menghadiahkan banyak kebahagiaan bagi mereka yang mau mengemban amanah ini, melihat anak tumbuh dan berkembang, mendapatkan kebahagian atas perlakuan baik dari anak mereka, hingga menghadiahkan amal yang tak terputus bagi mereka yang dapat mendidik anak-anaknya menjadi anak yang soleh sebagai mana sabda nabi “jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak yang saleh”. (HR. Muslim nomor 1631)

Namun tulisan ini tidak membandingkan pilihan mana yang lebih baik dan mana yang tidak lebih baik. Karena sejatinya setiap orang mempunyai hak untuk memilih dalam hidupnya. Yang penulis ingin berikan penekanan adalah perdebatan yang dilakukan sosial media, yang tidak lagi menjadi media untuk bertukar pikiran secara baik. Banyak yang justru memberikan penghakiman dan menyerang personal sosok Gita Savitri dengan sindiran dan ungkapan yang menyakitkan hati. Menuduh beliau bukanlah Muslimah yang baik. mandul, bahkan menyarankan suami gita untuk melakukan poligami agar memiliki keturunan. Bukankah seorang muslim yang baik tidak akan berkata kasar dan menjelekkan saudara muslim lainnya?.

Jika tidak setuju dengan mereka yang childfree mari hargai pilihan mereka. Jika tidak setuju dengan mereka mengkampanyekan childfree? Berilah counter yang apple to apple dengan mengkampanyekan anjuran untuk menikah dan memiliki anak dengan cara yang baik, belajar ilmu parenting dengan baik, dan memulai dengan menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak kita di rumah. Mari saling menghargai dan menggunakan sosial media dengan baik, bijak, dan bermartabat. Gunakan untuk menyebar manfaat bukan untuk menghujat.

 

Referensi:

https://islam.nu.or.id/hikmah/imam-nawawi-ulama-besar-yang-hidup-membujang-NYYgu diakses pada 17 Februari 2023.

Margaret Smith (1928). “Rabia The Mystic & Her Fellow Saints in Islam”. London: Cambridge University Press.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *