Connect with us

Kolom

Tradisi Mappano’ di Desa Atakkae Kabupaten Sidrap

Published

on

Tradisi Mappano' di Desa Atakkae Kabupaten Sidrap
Spread the love

Oleh: Rasmi

Budaya adalah keseluruhan pengetahuan dan proses yang dilalui oleh suatu kelompok masyarakat. Budaya merupakan hasil ciptaan dari masyarakat yang berasal dari kegiatan ataupun pemikiran dari suatu masyarakat.

Budaya yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya bisa atau bahkan kemungkinan besar berbeda, karena budaya diciptakan dari pemikiran dan pemikiran dari tiap individu ataupun kelompok pastinya berbeda-beda. Perbedaan tersebutlah yang menciptakan kebudayaan tersendiri.

Tradisi merupakan suatu bagian dari budaya. Tradisi adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang telah dilakukan sejak lama. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tradisi apabila dilakukan secara berulang kali dalam kurun waktu tertentu.

Tradisi mappano’ merupakan salah satu tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat suku Bugis. Tradisi mappano’ adalah suatu kebiasaan atau kepercayaan yang dilakukan oleh masyarakat suku Bugis untuk menghormati para leluhurnya.

Tradisi mappano’ dilakukan dengan cara memberikan sesajen atau sesembahan.

Tradisi mappano’ dilakukan secara turun-temurun dan masih dilestarikan oleh masyarakat suku Bugis hingga saat ini.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di Desa Atakkae, Kab. Sidrap, menurut masyarakat tradisi mappano’ dilakukan sekali dalam tiap tahunnya di desa Atakkae.

Menurut masyarakat Desa Atakkae, jika tradisi mappano’ tidak lakukan maka akan mendapatkan kesialan dan terjadi hal-hal buruk dalam hidupnya dan juga hidup kerabatnya.

Maka dari itu masyarakat di desa Atakkae terus melestarikan tradisi mappano’ ini karena mereka percaya akan terhindar dari hal-hal yang buruk.

Tradisi mappano’ dilakukan dengan beberapa rangkaian. Rangkaian pertama adalah mempersiapkan sesembahan. Sesembahan yang dipersiapkan terdiri dari tello atau telur, loka atau pisang, ota’ atau daun sirih, dan sokko patanrupa atau nasi ketan empat warna.

Sokko patanrupa terdiri dari sokko bolong atau nasi ketan hitam, sokko pute atau nasi ketan putih, sokko cella atau nasi ketan merah, sokko onnyi atau nasi ketan kuning.

Menurut masyarakat di desa Atakkae, masing-masing warna dari sokko ini memiliki makna tersendiri. Sokko bolong dimaknai sebagai tanah, sokko pute dimaknai sebagai air, sokko cella dimaknai sebagai api, dan sokko onnyi dimaknai sebagai angin.

Selain sokko patanrupa, loka juga memiliki makna tersendiri, dimana loka dimaknai sebagai jari-jari tangan, karena jari-jari tangan digunakan oleh manusia untuk mencari rezeki. Loka turut disuguhkan karena masyarakat desa Atakkae percaya akan memperoleh rezeki yang berlimpah.

Adapun tatanan dari sesembahan dalam tradisi mappano’ yang dilakukan oleh masyarakat di desa Atakkae, yaitu sokko patanrupa yang telah disiapkan kemudian diapitkan.

Sokko bolong berimpit dengan sokko pute, sokko cella berimpit dengan sokko onnyi, lalu diatas sokko tersebut diletakkan tello.

Menurut masyarakat di desa Atakkae tradisi mappano’ tidak hanya diniatkan untuk memberi penghormatan kepada leluhur. Namun juga diniatkan sebagai perwujudan rasa syukur kepasa Allah SWT. Selain itu, masyarakat di desa Atakkae juga meyakini bahwa sesembahan yang disuguhkan akan menjadi bekal ketika di akhirat kelak.

Selain mempersiapkan sesembahan, untuk pelaksaan tradisi mappano’ di desa Atakkae, masyarakat akan memanggil sanro. Sanro adalah sebutan bagi orang yang dipercayakan dalam memimpin tradisi mappano’ ataupun tradisi lainnya di suku Bugis.

Sanro yang memimpin tradisi mappano’ akan melakukan mabbaca doang ketika tradisi mappano’ dimulai di sungai Karajae.

Setelah sesembahan yang telah dibuat disajikan dalam lawasoji’, masyarakat akan berjalan membawa lawasoji’ yang berisi sesembahan dan perjalanan tersebut dirangkaikan dengan tarian yang dilakukan oleh para penari.

Tarian tersebut diiringi dengan mappadendang atau memukul gendang sebagai tanda dimulainya tradisi mappano’, dan juga sebagai perwujudan kegembiraan masyarakat desa Atakkae dalam melaksanakan tradisi mappano’, dan juga sebagai wujud permohonan kepada Allah SWT. agar Ia memberikan rezeki kepada masyarakat desa Atakkae.

Adapula masyarakat yang mengatakan bahwa mappadendang dilakukan sebagai penghormatan bagi buaya selaku penjaga air. Mappadendang ini dilakukan sepanjang perjalanan hingga tiba di sungai Karajae. Tarian dan mappadendang ini juga menjadi sumber semangat bagi masyarakat dalam melaksanakan tradisi mappano’.

Seteleh tiba di sungai karajae, sanro yang memimpin tradisi mappano’ ini akan melakukan prosesi mabbaca doang. Menurut masyarakat di desa Atakkae,  mabbaca doang adalah membacakan doa-doa atau bacaan tertentu pada sesembahan yang telah disiapkan. Mabbaca doang yang dilakukan oleh sanro dibacakan dengan menggunakan bahasa Bugis yang digunakan oleh masyarakat di desa Atakkae.

Masyarakat di desa Atakkae percaya bahwa doa yang bacakan oleh sanro sebagai perwujudan penghargaan kepada arwah leluhur dan juga ditujukan kepada Allah SWT. Semata-mata sebagai perwujudan rasa syukur dan juga sebagai permohonan agar Allah SWT. senantiasa memberikan keberkahan dalam hidup masyarakat di desa Atakkae.

Sebelum memberikan sesembahan yang telah disiapkan, sanro akan meminta izin terlebih dahulu kepada arwah leluhur mengenai tujuannya yang ingin memberikan sesembahan tersebut. Meminta izin oleh sanro dilakukan sebagai wujud penghormatan kepada arwah leluhur dari masyarakat di desa Atakkae.

Rangkaian selanjutnya dalam pelaksanaan tradisi mappano’ yang dilakukan di desa Atakkae ialah membawa sesembahan yang telah dipersiapkan sebelumnya ke sungai atau perairan yang disuguhkan kepada arwah leluhur.

Sesembahan tersebut disajikan dalam wadah yang disebut dengan lawasoji. Lawasoji yang berisikan sesembahan tersebut kemudian diletakkan di sungai dan mengalirkan sesembahan tersebut.

Menurut masyarakat di desa Atakkae, sebenarnya tradisi mappano’ tidak hanya dilakukan di sungai saja namun bisa juga dilakukan di laut. Namun, karena di desa Atakkae perairannya adalah sungai, maka masyarakat di desa Atakkae melalukan tradisi mappano’ di sungai Karajae.

Wawancara dengan Ibu Sarigana (29) salah satu masyarakat Desa Atakkae, Kab. Sidrap

Wawancara dengan Ibu Sarigana (29) salah satu masyarakat Desa Atakkae, Kab. Sidrap

Tradisi mappano’ menurut masyarakat di desa Atakkae harus dilakukan di perairan, karena tradisi mappano’ memiliki makna sebagai wujud rasa syukur terhadap air, karena air merupakan anugerah yang sangat bermanfaat bagi manusia.

Air menjadi hal yang sangat dibutuhkan mulai dari minum, mandi, mencuci, dan lain sebagainya. Bahkan sungai Karajae yang dijadikan tempat pelaksanaan tradisi mappano’ juga digunakan oleh masyarakat di desa Atakkae untuk mandi dan mencuci.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tradisi mappano’ yang dilakukan oleh masyarakat di desa Atakkae tiap tahunnya bukan hanya sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur namun juga sebagai wujud rasa syukur dan permohonan kepada Allah SWT.

Walaupun banyak masyarakat lain yang menganggap bahwa tradisi mappano’ ini dapat digolongkan sebagai syirik, namun tradisi mappanno’ yang dilakukan di desa Atakkae telah mengalami perkembangan karena telah terdapat wujud rasa syukur dan permohonan kepada Allah SWT. di dalamnya, sehingga masyarakat di desa Atakkae masih melestarikan tradisi mappano’ hingga saat ini.

*Rasmi, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri Parepare

Editor media warnasulsel.com - Portal media kiwari yang menyajikan berita lebih hangat berfokus berita pendidikan, sastra, buku dan literasi di sulawesi selatan

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *