Pluralisme Pancasila Menekan Gerakan Politik Identitas

Oleh : Amran

Pancasila sebagai dasar atau ideologi Negara memiliki nilai-nilai yang kondisional bagi Indonesia. Nilai-nilai luhur pancasila seperti Nilai agama, moral, dan nasionalisme yang terkandung ditubuh pancasila ketika diaplikasikan dengan model Indonesia yang kaya akan keanekaragaman maka akan mampu menahan segala bentuk kemungkinan ancaman bagi kesatuan dan keutuhan bangsa. Dengan keanekaragaman kepercayaan di Indonesia nilai-nilai pancasila sarat akan toleransi. Pancasila memiliki pluralitas yang tinggi sesuai kondisi Negara Indonesia dengan berbagai agama atau kepercayaan tersebut.

Pluralisme Pancasila merupakan pemahaman tentang pentingnya toleransi antar umat beragama di Indonesia yang tertuang dalam Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan hal tersebut universitas sebagai lembaga kemahasiswaan hadir sebagai wadah untuk menanamkan pemahaman tersebut melalui komitmen keindonesiaan . Pemerintah juga dengan kewenangan dan tanggung jawab harus menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai yang terkandung pada pancasila untuk menciptakan kondisi yang harmonis misalnya dari segi demokrasi politik. Sehingga gerakan-gerakan politik yang tidak sehat seperti politik identitas mampu diredam.

Politik identitas jika tidak segera diredam akan mengancam persatuan bangsa secara berkelanjutan. Akan tetapi melalui pemahaman pluralitas pancasila dan dilaksanakan oleh semua pihak tentu dapat diatas.

Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki banyak suku, agama, ras, dan budaya. Setiap suku ataupun ras masing-masing memiliki budaya dan kepercayaan dianut oleh masyarakat yang tidak lain disebut sebagai agama.

Agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia bermacam-macam, pada setiap pemeluknya memiliki ajaran-ajaran di dalamya yang harus djalankan sebagai pemeluk yang taat. Namun saat ini ketaatan pemeluk umat beragama tidak sepenuhnya dilakukan dalam kehidupannya sehari-hari.

Hanya dijadikan status dan memenuhi kebebasannya untuk memeluk agama yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2. Ajaran agama pun kadang diabaikan, sehingga dalam setiap kehidupannya tidak berlandaskan ajaran agama. Hal ini berakibat adanya penyimpangan- penyimpangan, melemahnya moral, dan norma yang terjadi di Indonesia.

Apalagi saat ini adalah era globalisasi yang membawa masyarakat hidup dalam pola hidup yang modern, kemajuan teknologi, dan lebih menghargai pada setiap pemikiran orang-orang. Kenyataanya masyarakat saat ini merasa ajaran agama terus pudar, nilai Pancasila yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang luhur sudah berkurang. Sebuah realitas keadaan bangsa yang berada pada garis khatulistiwa ini memang sudah memprihatinkan.

Generasi penerus bangsa diharapkan mampu untuk memperbaiki pola pikir dan sistem kepercayaan masyarakat Indonesia. Beragamnya sistem kepercayaan yang dianutpun dapat menjadi masalah yang bisa menimbulkan perpecahan. Apabila ajaran agama dan nilai pancasila tetap tidak diabaikan maka bukan hal yang tidak mungkin perpecahan tersebut akan terjadi.

Namun yang terjadi hari ini seolah pancasila kemudian belum mampu menjawab tantangan bagi bangsa ini. Banyaknya perbedaan dianggap menjadi antonim dari pengaplikasian pancasila. Dalam hal keyakinan atau agama banyak sekali perbedaan yang terus diperdebatkan seperti ungkapan agama yang palin baik dianut, siapa yang lebih islam, dan lain sebagaianya. Sehingga kita terus digiring untuk mengklaim paling benar dan yang lain salah.

Seharusnya perbedaan tersebut dijadikan sebuah kekayaan sebagaimana sila ke tiga pancasila persatuan Indonesia dimana kita semua pasrah serta rela berkorban dan tidak mementingkan diri sendiri agar dapat bersatu meminjam pepatah lama yang mengatakan “ jangan pernah mengharapkan persatuan kalau melarang perbedaan itu ada”.

Perbedaan mutlak adanya tetapi harus menghargai orang lain juga, apalagi isu agama yang dijadikan sebagai alat politik seperti yang baru-baru ini terjadi beberapa gerakan kegamaan seperti kegiatan 212 yang ada di jakarta yang awalnya dilandasi karna pelecelah ayat suci Al-quran oleh Ahok, kemudian dijadikan sebagai alat untuk menguntungkan suatu pihak. Gerakan 212 yang menempelkan Islam dan bendera tauhid sebagai symbol dapat menjadi kekuatan. Hanya saja kekuatan tersebut disalahartikan dan disalahgunakan. Alat paling ampuh bagi penguasa atau mereka yang haus kekuasaan melihat kelompok gerakan tersebut semakin besar. Belakangan gerakan Islam tersebut diduga digunakan untuk momrntum-momrntum politik.

Politik identitas, senjata yang mematikan untuk mengalahkan lawan atau mencapai kepentingan bagi oknum tertentu. Pilkada sebagian besar disinyalir turut memanfaatkan politik identitas untuk mendukung salah satu pasangan calon. Politik Identitas menjadikan agama khususnya Islam sebagai sasaran empuk para bagi elit untuk memenuhi tujuan mereka. Perbedaan yang terus dipupuk secara tidak sehat semakin membuat kompleks masalah Indonesia saat ini. Selain itu dampak buruk yang mungkin timbul dari politik identitas adalah terbukanya kran perpecahan khususnya antar agama. Indonesia dengan enam agama yang diakui sangat mungkin terpecah, apalagi bila egoisme Islam sebagai agama mayoritas menyeruak. Tentu tidak akan terlupakan tragedy berdarah antar agama Islam dan Kristen di Poso dan Ambon yang banyak menyebabkan korban bagi kubu masing-masing.

Apa yang terjadi jika hal tersebut meluas ke seluruh pelosok Indonesia. Padahal kemerdekaan bangsa ini tidaklah dapat dicapai bila hanya melalui salah satu kelompok ataupun agama. Mengingat kembali pernyataan bapak pendiri bangsa kita bahwa ‘ perjuangan kami melawan penjajah lebih mudah di banding melawan bangsa sendiri”. Pernyataan ini seharusnya bisa kita bantahkan dengan menerapkan nilai-nilai pancasila secara penuh adapun tantangan perbedaan itu diatasi dengan rasa kebersamaan dan persatuan Indonesia. Ali bin Abhi Thalib pun pernah berkata, “Mereka yang tidak seiman (seagama) denganmu adalah saudaramu dalam kemanusiaan”.

Reaksi politik identitas

Politik identitas yang lebih mengarah kepada perbedaan agama akhir-akhir ini sebenarnya rawan akan intoleran politik yang kemudian bertolak belakang dengan nilai-nilai pancasila yang penuh dengan makna toleransi sebagaimana tertuang dalam sila kedua, ketiga, bahkan kelima pancasila. Pancasila sangat menjunjung toleransi, sangat plural jika disadari. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang pancasila merupakan simbol nyata tentang pentingnya memaknai pancasila yang plural dari segi perbedaan agama atau kepercayaan. Pluralisme pancasila dapat kita lihat pada butir-butir sila pertama dan penjelasannya. Dengan kompleknya masalah yang ada hari ini terkhusus konflik dingin antar agama rawan akan intoleransi serta cara berpolitik sebagian orang yang tidak sehat, maka penulis mencoba menganalisa tentang “Pluralisme Pancasila Menekan Gerakan Politik Identitas”. Pluralisme pancasila perlu kita pahami bersama secara total dan implementasinya menghadapi gerakan politik

identitasi sebagai people power khususnya mahasiswa harus menjadi contoh masyarakat luas bahwa pancasila dapat selalu sinkron dengan situasi apapun di negeri ini.